Penghujung Mei 1998, massa gabungan dari mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat di berbagai wilayah di tanah air terus menggelar aksi, menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto. Sejumlah kerusuhan massa terjadi di beberapa kota di Indonesia, khususnya Ibu Kota Jakarta.
"Saya membaca dan menafsirkan keadaan demikian, sebagai tuntutan rakyat untuk memperoleh 'kebebasan total'. Memang, tiap manusia membutuhkan kebebasan di atas kemerdekaan atau kemerdekaan di atas kebebasan. Namun, bukankah kebebasan harus dibarengi dengan tanggung jawab? Dan tanggung jawab harus diimbangi oleh kewajiban?" ungkap Habibie, seperti yang Ia tulis dalam bukunya Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
"Dengan segala respek terhadap mereka yang berdemo untuk membawa aspirasi rakyat, saya tidak benarkan nasib dan masa depan bangsa ini ditentukan oleh gerakan atau demo di jalan, berapa juta pun mereka yang berdemonstrasi di jalan." lanjutnya.
Baca Juga: Detik-Detik yang Menentukan, Langkah Habibie yang Tak Boleh Diketahui Siapapun, Bahkan Ainun
Pagi itu, pukul 06.50 sampai 07.25 pada 21 Mei 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto datang mengahadap Wakil Presiden BJ Habibie, melaporkan keadaan di lapangan yang tidak menentu dan gerakan-gerakan demonstrasi yang terus meningkat.
Jenderal Wiranto juga melaporkan pada Habibie, bahwa ia telah menerima inpres yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto untuk bertindak demi keamanan dan stabilitas negara, jikalau keadaan berkembang menjadi khaos dan tidak terkendali.
Foto: Panglima ABRI Wiranto, saat berikan pernyataan di Istana Negara, 21 Mei 1998 (YouTube - AP Archive)
Habibie menerima laporan itu, dalam penafsirannya, Inpres yang diterima Wiranto itu semacam Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret pada tahun 1966 silam, yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto untuk mengendalikan keamanan ketika itu.
"Inpres ini mungkin semacam “Supersemar” (Surat Perintah Sebelas Maret), seperti halnya pada tahun 1966, dimana Jenderal Soeharto diberi kewenangan oleh Presiden Soekarno untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan negara." tulis Habibie.
Ketika itu Wiranto menanyakan kepada Habibie, apa yang harus Ia lakukan dengan inpres dari Soeharto tersebut.
Lalu apa jawaban Habibie kepada Wiranto? Habibie dalam bukunya itu memulainya dengan kisah pengalamannya, saat pertama kali mengenal Wiranto, tujuh tahun silam.
Sewaktu Ia bersama anggota Kabinet Pembangunan dan Pimpinan Lembaga Tertinggi Negara, duduk di lantai Masjid Istiqlal, sambil menantikan kedatangan Presiden dan Wakil Presiden untuk bersama melaksanakan shalat Id. Seorang muda
berpakaian kemeja batik dengan sopan menyapa Habibie dari belakang sambil berbisik, agar diperkenankan kelak membantu Habibie dalam Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).
“Siapa Anda dan di mana Anda sekarang?” Habibie bertanya.
“Saya Wiranto, Pak.”
“Wiranto siapa?” lanjut Habibie.
“Saya Wiranto, dulu ADC Presiden dan sekarang ditugaskan sebagai Kepala Staf Pangdam Jaya membantu Pak Hendropriyono.” jawab Wiranto.
“Insya Allah, iktikad dan niat Anda akan dikabulkan Allah SWT.” kata Habibie.
Pada momen itu, Habibie mengaku sangat terkesan dengan Wiranto. Mengenang pengalaman itu dan setelah mendengar laporan Wiranto, Ia mengambil kesimpulan
bahwa Jenderal yang Ia hadapi ini “jujur”, “bermoral”, “beretika”, dan setia pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Menurut Habibie, moral dan etika itu berakar pada agama.
Baca Juga: Ketika Dilantik Sebagai Presiden, Habibie Justru Merasa Menjadi Manusia yang Paling Kesepian
Oleh karena itu, Habibie kemudian menjawab pertanyaan Pangab Wiranto dengan singkat,
“Simpanlah Inpres tersebut, mungkin Jenderal akan butuhkan.”
Habibie yakin dengan keputusan tersebut, kalau Wiranto memang karakternya jelek, maka dia akan tidak menyampaikan impres tersebut kepada Habibie. Faktanya, Wiranto menyampaikan itu.
"Itu yang saya pegang, bahwa orang yang saya hadapi ini jujur. Sampai hari ini, saya berpendapat bahwa dia adalah orang yang bermoral, beretika, dan jujur.
Itu yang jadi pegangan saya." ungkap Habibie.
Habibie kala itu, kemudian memberikan sejumlah petunjuk kepada Panglima ABRI Wiranto, untuk segera dilaksanakan, diantaranya:
- Rakyat diberikan kebebasan untuk berdemo, tetapi tidak dibenarkan merusak dan atau membakar.
- Fasilitas pengamanan Pak Harto sekeluarga yang sekarang diberikan agar tetap berfungsi seperti semula dan pelaksana pengamanan bertanggung jawab langsung pada Pangab.
- Saya tidak benarkan Presiden menerima perwira tinggi ABRI, termasuk Kepala Staf Angkatan, kecuali bersama atau atas permintaan Pangab.
Selanjutnya Habibie bersama dengan Wiranto mempersiapkan pernyataan sikap ABRI yang akan dibacakan oleh Jenderal Wiranto setelah pengambilan Sumpah Presiden ke-3 RI oleh Ketua Mahkamah Agung di Istana Merdeka selesai.
Seperti diketahui, hari itu, Kamis 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mundur sebagai Presiden, kemudian Wakil Presiden BJ Habibie, dilantik sebagai Presiden RI ke 3.
Usai pelantikan Habibie, Panglima ABRI Wiranto, di Istana Negara, membacakan sikap ABRI atas perkembangan situasi terkini di tanah air.
"Menjunjung tinggi nilai luhu budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan presiden mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat, termasuk bapak Soeharto beserta keluarga" kata Wiranto.(Buz)
Load more