Yogyakarta - Kementerian Kesehatan menggelar pertemuan pertama Menteri Kesehatan Negara Anggota G20 (The 1st G20 Health Ministers Meeting) di Daerah Istimewa Yogyakarta pada Senin (20/6/2022).
Hal ini sejalan dengan tema besar Presidensi G20 yakni ''Strengthening Global Health Architecture, with Building Global Health System Resilience and Mutual Recognition for International Mobility, and Manufacturing Hub and Research,'' yang menekankan pada tiga isu prioritas.
Adapun ketiga isu penting yang dibahas dalam HMM adalah pertama, membahas langkah-langkah yang diperlukan untuk membangun ketahanan sistem kesehatan global, baik melalui penggalangan sumber dana dengan pembentukan Financial Intermediary Fund (FIF), penggalangan sumber daya dengan mekanisme yang lebih permanen, serta berbagi informasi dan data melalui konsep model GISAID+ untuk patogen yang berpotensi menimbulkan pandemi.
Isu prioritas kedua, membahas hasil pertemuan Health Working Group (HWG) pertama yakni harmonisasi mekanisme verifikasi sertifikat vaksin digital COVID-19 untuk mempermudah perjalanan internasional melalui pembuatan Federated Public Trust Directory antarnegara G20 berlandaskan Mekanisme Sertifikat COVID 19 yang sesuai dengan standar WHO.
Kemudian, isu prioritas ketiga, membahas langkah-langkah untuk menjamin pemerataan pengembangan dan pendistribusian vaksin, obat, maupun peralatan kesehatan dalam menghadapi pandemi selanjutnya.
''Kerja sama global sangat penting untuk mengatasi pandemi saat ini dan memastikan kita siap menghadapi pandemi selanjutnya. Untuk itu, pertemuan ini menjadi momentum penting bagi G20 untuk menggalang dukungan dalam rangka meningkatkan kapasitas sistem Kesehatan nasional, regional dan global,'' kata dr. Nadia, Senin 20 Juni 2022.
Pada Selasa, 21 Juni 2022 juga akan dilaksanakan Joint Finance and Health Ministers Meeting (JFHMM). Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan G20 serta WHO dan Bank Dunia yang akan mendiskusikan lebih lanjut mengenai pembiayaan untuk Prevention, Preparedness, dan Respons (PPR) yang lebih memadai, lebih berkelanjutan dan terkoordinasi dengan lebih baik melalui pembentukan FIF.
''Pertemuan pertama ini diharapkan tercapai satu kesepakatan terutama terkait pembentukan FIF menjadi badan permanen bukan adhoc dalam rangka kesiapan kita menghadapi pandemi ke depannya,'' kata dr. Nadia.
Pihaknya menjelaskan FIF merupakan satu mekanisme pembiayaan baru yang paling efisien, efektif serta inklusif untuk menghilangkan kesenjangan pembiayaan PPR yang mana setiap negara di dunia dapat mengakses pembiayaan tersebut.
''Proposal ini harus dipatuhi sebagai prinsip utama dan menghindari duplikasi mekanisme yang telah ada, dan memastikan keanggotaan FIF ini bersifat inklusif, agile dan dapat beradaptasi terhadap berbagai perubahan,'' tutur dr. Nadia.
Pembentukan FIF dirancang dan disusun oleh WHO dan Bank Dunia. Proposal akan terus dikembangakan dan diperbaharui berdasarkan usulan dan diskusi negara anggota G20 pada pertemuan the 1st JFHMM. Karenanya, dr. Nadia menggarisbawahi pentingnya pertemuan JFHMM sebagai bagian dari komitmen bersama dari negara G20 untuk memperkuat arsitektur kesehatan global melalui penggalangan dana untuk pembentukan FIF.
Saat ini, sejumlah negara telah menyampaikan komitmennya untuk kontribusi ke FIF, diantaranya Amerika Serikat (US$450 juta), Uni Eropa (US$450 juta), Jerman (EUR 50 juta), Indonesia (US$50 juta), Singapura (US$10 juta) dan Wellcome Trust (10 juta Poundsterling). Jumlah ini diharapkan akan terus bertambah seiring dengan pertemuan JFHMM di Yogyakarta.
''Negara G20 akan mengumpulkan pendanaan untuk pembentukan FIF dan mendorong komitmen negara lainnya,'' kata dr. Nadia. (rul/mii)
Load more