Jakarta - Santi Wirastuti wanita asal Sleman, Yogyakarta mendadak viral usai dirinya melakukan aksi damai Car Free Day (CFD) yang digelar di Bunderan Hotel Indonesia (Bunderan HI) pada Minggu (26/6/2022) lalu. Santi memohon agar ganja untuk medis di Indonesia diizinkan.
Saat itu, Santi membawa anaknya yang bernama Pika yang mengidap "cerebral palsy" atau gangguan yang mempengaruhi kemampuan koordinasi tubuh seseorang.
Selain itu, ia juga membawa sebuah surat yang ditujukan kepada hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar segera memutuskan gugatan uji materi terhadap UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang ia mohonkan sejak dua tahun lalu.
Uji materi UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika itu dilayangkan Santi ke MK bersama dua orang ibu lain pada November 2020.
Ketiga ibu tersebut mempersoalkan penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan Pasal 8 Ayat (1) UU Narkotika yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan.
Pasal ini dianggap merugikan hak konstitusional pemohon karena menghalangi mereka untuk mendapatkan pengobatan bagi sang buah hati. Ketiganya ingin MK melegalkan penggunaan narkotika golongan I untuk pengobatan.
Santi menceritakan awal mula keinginannya untuk mencoba ganja medis untuk pengobatan anaknya itu.
“Pika itu sudah sakit selama 7 tahun dan telah mengkonsumsi obat kejang selama 7 tahun pula. 7 tahun itu bukan waktu yang singkat untuk saya,” ujar Santi dalam program dialog tvOne, Apa Kabar Indonesia Malam, dikutip Kamis (30/6/2022).
Lebih lanjut Santi menceritakan, keinginannya mencoba ganja medis karena ia ingin melakukan berbagai usaha dalam mengobati anaknya itu.
Santi bercerita bahwa awal mula ia mengetahui ganja medis dapat menjadi obat kejang bagi anaknya itu adalah ketika ia bekerja dengan Warga Negara Asing (WNA) di Denpasar, Bali.
“Jadi kondisi Fika itu kan terdeteksi awal, diagnosa awal kan epilepsi, kemudian waktu saya masih berada di Denpasar saya bekerja dengan orang asing beliau sering keluar masuk Indonesia,” kata ibu Pika itu.
WNA tersebut kemudian mengirimkan foto sebuah obat yang digunakan di negaranya untuk kasus penyakit yang sama seperti Pika.
“Saat berada di luar beliau itu mengirimkan foto botol kepada saya berupa sirup gitu lalu mengatakan Santi ini di negara saya dipakai untuk obat epilepsi, kamu mau nggak saya bawain?,” cerita Santi.
Karena tertulis ganja dan Santi tahu itu dilarang di Indonesia, saat itu ia menolak untuk dibawakan.
“Namun ternyata di botol itu tertulis ganja, jadi saya langsung menolak karena waktu itu belum legal di Indonesia hingga sampai saat ini,” katanya.
Setelah pulang ke Yogyakarta, Santi akhirnya bertemu dengan seorang Ibu yang juga memiliki anak dengan kasus yang sama. Ibu tersebut melakukan pengobatan dengan ganja medis kepada anaknya di Australia.
“Kemudian dari Denpasar saya pulang ke Yogyakarta dan seiring waktu saya berkenalan dengan ibu Dwi Pertiwi, ibu dari Musa. Beliau memberikan terapi ganja medis di Australia kepada Musa, saya lihat perkembangannya signifikan,” kata Santi.
Santi melihat Musa menjadi memiliki pola tidur yang bagus. Oleh karena itu ia ingin mencoba ganja medis demi kemajuan kesehatan Pika.
“Saya lihat perkembangannya sangat signifikan, pola tidurnya bagus kejangnya berkurang jadi saya juga ingin memberikan kemajuan seperti itu juga kepada anak saya,” ujarnya.
Hari ini, usulan penggunaan ganja medis di Indonesia dibahas Komisi III DPR dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP).
"Komisi III mengundang orang yang punya kompetensi untuk menyampaikan masukan dan pendapat. Mudah-mudahan saja besok (kamis) keinginan kami itu bisa terwujud," ungkap Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil seperti dikutip dari laman dpr.go.id, Kamis (30/6/2022).
Nasir menegaskan akan secara penuh kehati-hatian dalam menyikapi isu atau aspirasi peluang pemanfaatan ganja secara terbatas untuk kepentingan kesehatan.
Pasalnya, Undang-Undang Narkotika yang ada memberikan peluang pemanfaatan meskipun dalam jumlah terbatas. (put)
Load more