"Saat itu sulit dibayangkan, hampir surealistis. Westerling berdiri, kemudian bum, laki-laki itu jatuh tersungkur. Tak bisa dipercaya itu benar-benar terjadi" kisah Hay.
Para prajurit pasukan khusus itu, ketika menyatakan kesiapannya berdiri diatas genangan darah sebatas mata kaki seperti yang disampaikan dalam pidato Westerling sebelum mereka berangkat, kini tak bisa lagi mundur. Mereka suka ataupun tidak, harus mengikuti semua pembantaian itu.
Sejarawan Salim Said, dalam bukunya "Dari Gestapu ke Reformasi" menceritakan tentang kenangan masa kecilnya di Parepare Sulawesi Selatan, ketika pembantaian pasukan Westerling terjadi.
"Sebagai anak kecil di Parepare, yang masih terekam dalam ingatan saya dari peristiwa pembantaian Westerling adalah adegan pasukan KNIL menggiring anggota masyarakat untuk dikumpulkan di stasiun kendaraan bermotor" tulis Salim Said.
"Tidak lama kemudian, di jalan yang sama, di depan rumah saya, kearah kebalikannya, beriringan perempuan berjalan menangis meraung-raung. Pembantaian telah terjadi." lanjutnya.
Penembakan memang sengaja dilakukan di depan mata banyak orang yang dikerahkan ke medan pembantaian. Tujuannya, memperluas dampak teror.
Dalam catatan Salim Said, salah satu desa yang terkenal sehubungan dengan pembantaian itu adalah Suppa, di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Tokoh penting yang terbunuh di Suppa adalah Datu Suppa Toa (senior), Andi Makkasau, dan Datu Suppa Lolo (junior) Andi Abdullah Bau Massepe.
Kedua bangsawan tinggi Bugis ini memainkan peran besar dalam mengorganisasikan serta mengarahkan gerakan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Mereka berdua adalah pemimpin kaum Republik yang memprakarsai pertemuan para pemimpin masyarakat untuk menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia. Keduanya sangat dihormati dan berpengaruh di wilayah Suppa dan sekitarnya, karena itu banyak sekali pendukungnya.
Belanda tahu soal ini. Maka, selain menghabisi kedua Datu tersebut, sekitar hampir 300 orang pejuang Suppa, pengikut mereka, juga dihabisi.
Load more