Jakarta - Presiden RI ke-2 Soeharto merupakan sosok yang kontroversial karena ia adalah satu Jenderal TNI yang kala itu selamat pada peristiwa mencekam G30S PKI.
Pria berjuluk The Smiling General itu selamat dari incaran pasukan Cakrabirawa yang membantai sejumlah para petinggi TNI kala itu.
Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan terkait Soeharto yang bisa lolos dari tragedi berdarah itu.
Sejumlah pihak pun tak sedikit yang berpendapat bahwa sebenarnya Soeharto-lah yang berada di balik peristiwa G30S PKI itu.
Presiden RI ke-2 Soeharto. (Ist)
Namun, benarkah begitu?
Teori keterlibatan Soeharto di peristiwa berdarah G30S PKI itu didukung sebuah pertanyaan sederhana: Mengapa Soeharto tidak ikut diculik dan dibunuh oleh PKI seperti jenderal-jenderal lainnya?
Kala itu, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menyiarkan kabar sampai ke sekolah-sekolah di Indonesia dengan menyebut bahwa PKI adalah biang kerok peristiwa berdarah itu terjadi.
Namun seiring waktu, penculikan dan pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 tak bisa dilihat sebagai kesalahan tunggal PKI.
Peristiwa G30S PKI terjadi akibat kabar burung yang mengatakan adanya sekelompok jenderal atau Dewan Jenderal yang hendak mengudeta Presiden Soekarno.
Peter Kasenda dalam Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI (2016) menulis, PKI mendapat informasi tersebut dari rekan mereka di militer yang merupakan simpatisan PKI.
Dedengkot PKI, DN Aidit. (ist)
Pada tahun 1965, militer pecah menjadi beberapa faksi yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Di antaranya, sebagian kecil menjadi simpatisan PKI, partai yang pada saat itu merupakan salah satu partai politik terbesar.
Kader-kader PKI sukses menduduki kursi dewan dan kursi pejabat.
Namun ada faksi-faksi yang justru anti terhadap PKI.
Setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945, negara-negara pemenang silih bersaing memperebutkan pengaruh.
Di berbagai negara, persaingan yang dikenal dengan 'perang dingin' ini membelah dunia menjadi dua.
Misalnya, Uni Soviet dengan paham komunisnya. Dan ada Amerika Serikat dengan paham kapitalisnya.
Di tahun 1960-an, Soekarno dan PKI lebih condong ke Uni Soviet dan justru terkesan antibarat.
Sedangkan Dewan Jenderal diyakini sejalan dengan Amerika Serikat yang ingin menyingkirkan Soekarno.
Presiden RI ke-2 dan Jenderal TNI Soeharto. (ist)
Dari keyakinan ini, para perwira militer yang loyal kepada Soekarno bergerak secara diam-diam untuk mencegah kudeta.
Di antaranya Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim).
Mereka mendapat dukungan dari Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus (BC) PKI yang merupakan Badan Intelijen PKI. Daftar jenderal yang jadi sasaran disusun oleh Sjam bersama para perwira militer.
Simpatisan pro PKI itu berencana "menculik" para jenderal dan membawanya ke hadapan Presiden Soekarno.
Adapun ternyata rencana tersebut gagal total. Persiapan tidak dilakukan dengan matang. Para jenderal justru dibunuh.
Soeharto Ada di Mana?
Dalam kesaksiannya di Mahkamah Militer, Latief, kala itu menceritakan alasannya tidak memasukkan nama Soeharto.
"Karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).
Adapun Latief juga melapor ke Mayjen Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Presiden RI ke-2 Soeharto. (Ist)
Langkah mengejutkan tersebut dilakukan Latief setelah laporannya, kala itu, tak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.
Latief menyebut sudah beberapa kali mewanti-wanti adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal.
Menurut Latief, Jenderal Soeharto ketika itu hanya bergeming mendengar informasi itu.
Bahkan di malam 30 September 1965, Soeharto memilih mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta.
Adapun Soeharto mengakui ia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S.
Namun Soeharto memberikan kesaksian yang berganti-ganti. Dalam wawancara dengan Der Spiegel pada 19 Juni 1970 misalnya, Soeharto mengaku ditemui di RSPAD Gatot Subroto oleh Latief pada malam 30 September 1965.
Soeharto saat itu tengah menjaga anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy yang dirawat karena luka bakar akibat ketumpahan sup panas.
Namun kata Soeharto, Latief tidak memberi informasi apa-apa, justru malah mau membunuhnya saat itu juga.
"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata Soeharto. Namun dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi.
Puncaknya pada 11 Maret 1966. Soeharto yang kala itu menjabat Panglima Angkatan Darat mendapat mandat dari Soekarno untuk mengatasi keadaan.
Permintaan yang dikenal dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) itu membuka pintu bagi Soeharto untuk mengambil kekuasaan dari Soekarno.
Dan peristiwa itu membuat Soeharto muncul sebagai pahlawan.
Soeharto pun sukses menumpas PKI dan menjadi presiden.
Presiden RI ke-2 Soeharto. (ist)
Kala itu, setidaknya sebanyak 500 ribu orang yang dituduh PKI atau simpatisannya, dihabisi di berbagai penjuru Indonesia.
Latief pun merasa dikhianati oleh Soeharto.
"Jadi siapa yang sebenarnya telah mengakibatkan terbunuhnya para jenderal tersebut? Saya yang telah memberi laporan lebih dulu kepada Jenderal Soeharto? Atau justru Jenderal Soeharto, yang sudah menerima laporan tetapi tidak berbuat apa-apa?" kata Latief dalam kesaksiannya.
"Nyatanya, sama sekali tidak pernah ada langkah-langkah untuk menambah penjagaan. Sebaliknya, setelah Peristiwa G30S meletus, selain menghantam G30S dan juga membantai ribuan rakyat yang sama sekali tidak tahu apa-apa, mereka bertiga (Soeharto, Umar Wirahadikusumah, dan Basuki Rachmat) kemudian malahan bersama-sama menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno," kata Latief. (abs)
Jangan Lupa Subscribe YouTube Tvonenews.com:
Load more