Jakarta - Ombudsman RI menemukan tiga bentuk malaadministrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI.
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (19/7/2022), mengatakan temuan tersebut merupakan tindak lanjut laporan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terdiri atas KontraS, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Perludem kepada Ombudsman terkait dugaan malaadministrasi dalam penunjukan dan pengangkatan penjabat kepala daerah oleh Kemendagri.
“Atas semua temuan dan pendapat yang dirangkum tadi, Ombudsman menyampaikan tiga malaadministrasi,” ujar Robert.
Tiga bentuk malaadministrasi itu, papar Robert, adalah penundaan berlarut-larut dalam memberikan tanggapan atas permohonan informasi dan keberatan pelapor, penyimpangan prosedur dalam pengangkatan penjabat kepala daerah seperti adanya pengangkatan dari unsur TNI/Polri aktif, dan tindakan mengabaikan kewajiban hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 serta Nomor 15/PUU-XX/2022.
Dia menjelaskan penundaan berlarut yang menjadi bentuk malaadministrasi itu berhubungan dengan Kemendagri yang menunda memberikan tanggapan informasi dan laporan keberatan LSM mengenai pengisian serta penetapan penjabat kepala daerah yang diduga tidak berlangsung secara transparan dan partisipatif.
Berdasarkan fakta administrasi yang ditelusuri, Ombudsman berpendapat tindakan Kemendagri itu bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Jadi, tidak ditanggapinya permintaan informasi ataupun substansi keberatan dari para pelapor, menurut pandangan Ombudsman, bertentangan dengan UU Pelayanan Publik,” ujar Robert.
Berikutnya, mengenai malaadministrasi tentang penyimpangan prosedur dalam pengangkatan penjabatan kepala daerah, hal ini terkait dengan pengangkatan penjabat kepala daerah yang berasal dari unsur anggota Polri/TNI aktif.
Robert menyampaikan anggota Polri/TNI aktif pada prinsipnya hanya dapat menduduki jabatan sipil pada 10 instansi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Sementara itu, penunjukan TNI atau Polri untuk menjabat di luar posisi tersebut harus mengacu pada aturan lengkap dalam UU TNI dan UU ASN mengenai status kedinasan.
Robert mengatakan dalam penunjukan kepala daerah dari anggota Polri/TNI aktif, Kemendagri harus mengajukan surat permohonan ke instansi tempat ia bertugas.
Ketentuan itu diatur dalam Perpol Nomor 12 Tahun 2018 tentang Penugasan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Namun, kata Robert, dalam pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman terhadap Kepala Badan Bidang Pembinaan Hukum TNI, diketahui bahwa dalam pengangkatan prajurit TNI aktif, pihak TNI tidak pernah mengusulkan calon penjabat kepala daerah. Selain itu, tambah dia, pihak TNI mengaku tidak dilibatkan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah.
“Biasanya, kalau ada penugasan prajurit aktif, maka pihak TNI itu dimintakan dan kemudian akan berkoordinasi,” kata dia.
Malaadministrasi yang ketiga adalah terkait dengan Kemendagri yang mengabaikan pelaksanaan Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Nomor 15/PUU-XX/2022.
Dalam pertimbangannya, kata dia, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengangkatan penjabat kepala daerah harus dilaksanakan secara demokratis dan memiliki peraturan pelaksana tindak lanjut.
“Ini ada pengabaian kewajiban hukum terhadap melaksanakan putusan tersebut,” kata Robert.
Berdasarkan temuan malaadministrasi tersebut, Ombudsman menyarankan tiga tindakan korektif yang dapat dilakukan Kemendagri. Pertama, Kemendagri perlu menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan dari pihak pelapor. Kedua, Kemendagri perlu memperbaiki pengangkatan penjabat kepala daerah dari unsur prajurit TNI aktif.
Kemudian yang ketiga, Kemendagri disarankan menyiapkan naskah usulan pembentukan peraturan pemerintah terkait pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian penjabat kepala daerah.
Robert menyampaikan bahwa Ombudsman RI telah menyerahkan laporan hasil akhir dan rekomendasi tindakan korektif itu kepada Kemendagri melalui Sekjen Kemendagri Suhajar Diantoro, di Kantor Ombudsman RI, Selasa pagi.
Kemudian, Ombudsman memberikan kesempatan selama 30 hari bagi Kemendagri untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut. (ant/ito)
Load more