Jakarta - Andreas Tambah selaku Pengamat Pendidikan menilai kasus intoleransi di lingkungan pendidikan seperti memaksa siswi wajib berjilbab, khususnya sekolah negeri masuk dalam tahap merisaukan. "Kasus intoleran di sekolah negeri memang sudah pada tahap merisaukan. Kejadian serupa sudah banyak terjadi di berbagai tempat," tutur Andreas saat dihubungi, Minggu (14/8/2022).
Menurut dia, sekolah negeri seharusnya adalah sekolah publik yang tidak dimiliki oleh golongan tertentu. Sekolah harus menjadi miniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dapat memberikan jaminan hak bagi setiap individu.
Lebih lanjut, Andreas menjelaskan, ada tiga hal yang menyebabkan kasus intoleransi di sekolah negeri kerap terjadi.
"Pertama, Kepala Daerah yang abai terhadap hak individu dan bahkan ada yang memiliki visi menegakkan paham tertentu," jelasnya.
"Kedua, demikian juga pejabat turunannya, kepala dinas, pengawas, dan kepala sekolah," lanjutnya.
Sementara alasan ketiga adalah adanya desakan dari golongan tertentu untuk menciptakan hal-hal demikian. Seperti kasus yang menjerat seorang guru memaksa siswinya memakai jilbab.
Dalam hal ini pun, Andreas turut memberi solusi atas kasus serupa yang kerap terjadi. Pertama, dia meminta Pemerintah Pusat, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri harus memiliki komitmen terhadap NKRI dan tegas menghukum pihak Kepala Sekolah/Guru yang melakukan tindak intoleransi dan rasis.
"Menpan RB juga diharapkan mampu membersihkan ASN di lingkungan pendidikan yang intoleran dan rasis. Pemerintah juga diharapkan memiliki regulasi yang mampu/membuat pihak sekolah menerapkan tata tertib yang menjamin hak individu yang sangat pribadi," pungkasnya.
Kasus ini pun menjadi perhatian Fraksi PDI-Perjuangan DPRD DKI Jakarta usai menerima sejumlah aduan masyarakat terkait kasus intoleransi beberapa waktu yang lalu.
Hingga akhirnya, Fraksi PDI-Perjuangan DPRD DKI Jakarta memanggil pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta pada Rabu (10/8/2022) untuk memberikan klarifikasi.
Load more