Jakarta - Partai besutan Prabowo Subianto, Partai Gerindra, secara resmi berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dikomandani oleh Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
"Bekerja bersama dalam Pemilu Serentak, didasarkan pada visi bersama, agar terjadi percepatan pembangunan Indonesia," kaya Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad membacakan naskah kerja sama.
(Deklarasi koalisi Partai Gerindra dan PKB di SICC, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (13/8/2022). Sumber: ANTARA)
"Agar negara Indonesia secara berdaulat dan turut menciptakan perdamaian dunia," kata Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid saat membacakan naskah deklarasi.
Tidak hanya dua partai saja, Gerindra dan PKB juga membuka pintu bagi partai lain untuk masuk dalam koalisi yang mereka deklarasikan. Hal itu tertuang dalam piagam deklarasi koalisi kedua partai tersebut.
"Pada Pemilu tahun 2024 dan dapat membuka koalisi dengan partai politik lain atas persetujuan kedua belah pihak," kata Sufmi Dasco Ahmad.
Piagam deklarasi yang ia bacakan bersama Jazilul Fawaid itu juga menyepakati bahwa bergabungnya kedua partai ini untuk mewujudkan pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
Poin lainnya, kerja sama Partai Gerindra dan PKB didasarkan pada visi bersama, yaitu agar terjadi percepatan pembangunan untuk Indonesia secara berdaulat, adil, makmur, sejahtera, dan aktif mendorong terciptanya perdamaian dunia.
Kemudian, dilatarbelakangi keinginan menyatukan dua kekuatan besar di Indonesia, yakni nasionalis dan religius untuk menghindari polarisasi masyarakat pada Pemilu tahun 2024.
Mengenai penentuan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung kedua partai politik tersebut akan ditentukan secara bersama-sama oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Poin terakhir, kesepakatan kerja sama Partai Gerindra dan PKB ditindaklanjuti dengan kerja politik bersama untuk memenangkan pasangan capres dan cawapres yang disepakati.
Sejarah Baru Perpolitikan
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menyebutkan bahwa koalisi antara PKB dan Partai Gerindra di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 akan mencetak sejarah baru, karena belum pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
(Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar di Sentul International Convention Center (SICC), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (13/8/2022). Sumber:ANTARA)
"Berkali-kali Pemilu, belum pernah PKB koalisi dengan Gerindra. Dari Sentul Bogor ini insha Allah kebahagiaan akan terwujud," ungkapnya usai penandatanganan koalisi kedua partai.
Ia menyebutkan, bergabungnya kedua partai yang memiliki kesamaan karakter, yakni agamis dan nasionalis menjadi kebanggaan para kader karena diyakini dapat mewujudkan Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
"PKB dan Gerindra merupakan dua kekuatan partai politik yang memiliki ideologi dan semangat yang sama. Kesamaan ideologi, gagasan dan cita-cita ini yang merekatkan untuk bertekad siap mengatasi seluruh persoalan bangsa," ujarnya.
Cak Imin mengaku optimistis koalisi PKB dan Gerindra dapat memenangkan Pilpres 2024. Sehingga dapat menggunakan kekuasaan sebagai alat efektif untuk memberikan kesejahteraan masyarakat.
"Tekad dan kebersamaan ini tertuang di dalam semangat kita. Tahapan Pemilu, insya Allah 2024 kita akan rebut kekuasaan untuk kemakmuran dan kesejahteraan Indonesia. Kekuasaan adalah alat yang paling efektif," ucap Cak Imin.
Sementara itu, menganalisa dinamika politik koalisi antara PKB dan Gerindra, Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani menyebutkan, manuver politik PKB dan Gerindra untuk membangun koalisi bukan berdasarkan kecenderungan aspirasi pemilih PKB maupun massa NU yang menjadi basis konstituennya.
(Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani. Sumber: ANTARA)
Saiful Mujani menyampaikan hal itu dalam acara Bedah Politik episode "Top Down Koalisi Gerindra-PKB?" yang disiarkan oleh kanal Youtube SMRC TV.
Dia menyebutkan, survei SMRC pada Mei 2022 menunjukkan bahwa dari total pemilih PKB, 40,7 persen menginginkan Ganjar Pranowo sebagai presiden. Yang mendukung Prabowo 22 persen dan Anies Baswedan 16,5 persen.
Ada dua model penentu koalisi, menurut Saiful. Pertama adalah model bottom up. Model ini mendengarkan aspirasi dari bawah, konstituen, pemilih, atau kelompok-kelompok kepentingan yang dekat dengan partai.
Model kedua adalah supply side atau top down. Dalam model koalisi ini, kebutuhan masyarakat diciptakan oleh elite.
Melihat kecenderungan pemilih PKB, ini menunjukkan manuver yang sedang dimainkan Muhaimin Iskandar dan Prabowo Subianto untuk berkoalisi tidak mencerminkan "demand side" atau aspirasi pemilih PKB, melainkan aspirasi elite.
Namun demikian, Saiful menyatakan bahwa politik acapkali bukan hanya sekadar kemenangan elektoral. Targetnya mungkin bukan Prabowo benar-benar menang sebagai presiden dan Muhaimin menjadi wakilnya, tapi untuk pertimbangan yang lain.
Misalnya, dia ingin tercatat menjadi calon wakil presiden yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Ini satu langkah politik yang memiliki nilai tersendiri, kata Saiful. Dan ini juga mungkin bisa membentuk partai untuk melakukan mobilisasi.
Saiful melihat bahwa pengajuan Prabowo sebagai calon presiden selama ini juga punya tujuan untuk mobilisasi partai. Prabowo, kata dia, punya magnet untuk menggerakkan pemilih.
"Targetnya bukan Prabowo menjadi presiden, tapi setidaknya suara Gerindra cukup baik untuk mengamankan para politisi partai. Mungkin itu target minimal. Syukur-syukur kalau Prabowo jadi presiden," katanya dalam siaran persnya.
Mengapa pemilih PKB cenderung memilih Ganjar Pranowo dibanding tokoh lain? Saiful melihat bahwa ini wajar, karena secara sosiologis pemilih PKB dan Ganjar dekat.
Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah basis utama massa pemilih PKB dan wilayah itu pula yang menjadi basis pendukung Ganjar.
Namun demikian, Saiful mengingatkan bahwa Muhaimin pernah melakukan tindakan politik yang menarik dalam kasus Pemilihan Gubernur Jawa Tengah. Dalam pilkada tersebut, PKB tidak mendukung Ganjar Pranowo, melainkan mendukung pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah.
Dalam kasus ini, Saiful melihat PKB memiliki pertimbangan lain di luar menang pilkada. Oleh karena itu, dalam kasus pilpres boleh jadi Muhaimin kembali memiliki pertimbangan lain di luar soal memenangkan pilpres.
"Ada target lain yang bisa dicapai melalui koalisi itu, tidak hanya secara harfiah koalisi capres dan cawapresnya bukan hanya untuk menang menjadi pasangan presiden dan wakil presiden. Itu terlalu sederhana kita melihat makna di balik rencana koalisi itu sendiri," kata ilmuwan politik lulusan Ohio State University, Amerika Serikat ini.
Kalau dilihat dari aspek 'demand side", mestinya koalisi PKB tidak dengan Prabowo Subianto. Tetapi, jika PKB mendukung Ganjar, tidak ada jaminan bahwa ketuanya, Muhaimin Iskandar akan diusung menjadi calon wakil presiden.
"Semangat politik seperti itu (untuk masuk dalam bursa capres-cawapres) adalah hal yang normal di kalangan politisi," kata Saiful.
Selain itu, PKB juga perlu mempertimbangkan suara dan aspirasi politik Nahdlatul Ulama.
Menurut Saiful, ada hubungan yang sangat khusus antara NU dan PKB. Dia tidak bisa membayangkan PKB tanpa NU.
Saiful menyatakan bahwa manifestasi politik NU bisa dalam bentuk banyak partai atau orang NU bisa ada di pelbagai partai, salah satunya PKB. Tapi tidak sebaliknya bahwa orang PKB bisa ada di pelbagai ormas lain.
Oleh karena itu, harus diperhitungkan apakah ormas NU yang menjadi basis bagi PKB menghendaki koalisi tersebut.
Menurutnya lagi, hingga saat ini belum terdengar ada opini atau pendapat dari tokoh-tokoh NU tentang rencana koalisi PKB-Gerindra.
Saiful menegaskan bahwa NU secara resmi memang tidak berpolitik, tapi politik organisasi ini dilakukan tanpa lembaga, seperti yang dipraktikkan Ma'ruf Amin, Hasyim Muzadi, atau Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
"Walaupun secara lembaga NU tidak berpolitik, tapi politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan orang-orang NU," kata Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini lagi. (ant/ito)
Load more