Jakarta, tvOne
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai masih terdapat celah dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang memungkinkan terjadinya praktik perkawinan anak akibat longgarnya ketentuan dispensasi (pemberian izin kawin).
"Di batang tubuh maupun pasal penjelas UU Nomor 16 Tahun 2019 mengenai perkawinan, dispensasi bisa diberikan dengan alasan sangat mendesak. Tapi tidak dijelaskan secara rinci apa alasan tersebut," tutur Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda dalam acara "Peluncuran Dokumen Kebijakan Pentingnya Perspektif Kesehatan dan Gender dalam Proses Penyusunan RKUHP" yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Dia menambahkan hal tersebut ditunjukkan dengan maraknya praktik perkawinan anak setelah pengesahan revisi UU Perkawinan pada 2019 dan pada masa pandemi.
Menurutnya, dorongan orang tua serta timpang-nya relasi kuasa antara orang tua dan anak dalam pengambilan keputusan terkait perkawinan menjadi faktor pendorong yang memungkinkan terjadinya pengajuan dispensasi.
Data Komnas Perempuan menunjukkan angka dispensasi perkawinan anak yang dikabulkan pengadilan agama pada 2020 mencapai 64.211 pengajuan, meningkat hampir 300 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 23.126 pengajuan dispensasi.
Dia mengatakan salah satu penyebab maraknya hal tersebut karena adanya ancaman pemidanaan perilaku seksual berisiko yang dapat memicu orang tua mengawinkan anaknya untuk menghindari ancaman pidana dan stigma buruk dari masyarakat.
"Studi di berbagai negara yang mempidanakan perilaku seksual berisiko juga menunjukkan keputusan orang tua mengawinkan anaknya merupakan upaya yang sering diambil untuk menghindari stigma dan ancaman pidana," ujar Olivia.
Selain itu, kriminalisasi perilaku seksual juga membuat remaja enggan mencari dan mengakses informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi karena takut dituduh melakukan pelanggaran pidana.
Load more