Jakarta - 7 September 2004, 18 tahun yang lalu aktivis HAM Munir Said Thalib dibunuh di dalam pesawat saat hendak melakukan perjalanan ke Belanda dengan racun jenis arsenic.
Bagaimana tidak, kasus ini tak kunjung menemukan titik terang tentang siapa dalang sebenarnya yang membunuh aktivis Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Kronologi Tewasnya Munir
Senin, 6 September 2004 pukul 21:55 WIB, pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 itu lepas landas dari Jakarta menuju Belanda. Munir berangkat ke Belanda untuk menempuh pendidikannya di Universitas Utrecht, Amsterdam. Pesawat itu sempat transit di Bandara Changi, Singapura.
Dua jam sebelum mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Munir dinyatakan tewas. Sebelum dinyatakan tewas, ia sempat merasa perutnya sakit setelah meminum segelas jus jeruk.
Menurut beberapa saksi, seusai lepas landas dari Bandara Changi, Munir sempat bolak-balik ke toilet dan terlihat seperti orang yang sedang kesakitan. Disaat itu, Munir sempat mendapatkan pertolongan dari penumpang lain yang berprofesi sebagai dokter.
Pertolongan ini mengharuskan ia berpindah tempat duduk di sebelah dokter tersebut. Namun tak lama menjalani perawatan dari dokter, Munir dinyatakan telah meninggal. Ia meninggal ketika keadaan pesawat sedang dalam ketinggian 40.000 kaki di atas Rumania.
Dua bulan kemudian setelah Munir dinyatakan meninggal, pihak kepolisian Belanda menyatakan bahwa Munir meninggal diracun oleh seseorang. Sebab, ditemukan senyawa arsenic yang ada di dalam tubuhnya.
Dilansir dari laman resmi Kontras.org, pembunuhan Munir dilakukan secara sistematis. Kejahatan yang struktur itu melibatkan berbagai pihak dari kalangan yang berkedudukan tinggi. Salah satunya yakni dari pihak maskapai Garuda Indonesia, yaitu pilot Garuda, Pollycarpus dan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia masa itu, Indra Setiawan.
Pollycarpus mengaku dirinya hanya menjadi kru tambahan, dan dinyatakan sebagai pelaku pembunuhan dengan memasukkan racun arsenik pada tubuh Munir. Padahal, ketika itu merupakan hari liburnya Pollycarpus sebagai pilot, tetapi Indra Setiawan memberikan surat tugas kepadanya.
Alhasil, Pollycarpus dijatuhi dengan hukuman 20 tahun penjara. Namun, dalam prosesnya, keputusan hakim kerap tidak konsisten. Setelah memohon peninjauan kembali, hukumannya berkurang menjadi 14 tahun penjara.
Pada November 2014, Pollycarpus bebas bersyarat dan dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018.
Kenang 18 Tahun Munis, Komnas HAM Angkat Bicara
Kasus kematian Munir akan memasuki masa kadaluwarsa, karena akan melampaui 18 tahun sejak peristiwa ini terjadi. Namun, Komnas HAM lebih memilih jalur aman dengan tidak menangani kasus kematian Munir sebagai salah satu peristiwa dengan kasus pelanggaran HAM.
Kasus Munir bukanlah kasus pembunuhan biasa, tetapi kasus ini merupakan pembunuhan yang diduga dilakukan oleh aktor negara dan merupakan kejahatan kemanusiaan. Bahkan Komnas HAM baru membentuk Tim Ad Hoc untuk penyelidikan kasus ini justru menjelang tibanya masa kadaluwarsa.
Pembentukan Tim Ad Hoc itu diresmikan langsung oleh Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik bersama dua Komisioner ya yakni Sandrayati Moniaga dan Choirul Anam di Gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat pada Rabu (7/9/2022).
"Jadi dengan demikian dalam waktu dekat tim ini akan mulai bekerja untuk melakukan penyelidikan pro justicia berdasarkan UU Nomor 26 tahun 2000," katanya dalam konferensi persnya di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Kendati telah resmi dibentuk, Taufan memastikan langkah Tim Ad Hoc belum dapat melangsungkan tugasnya.
Hal itu ditengarai belum lengkapnya struktur anggota pada pembentukan Tim Ad Hoc penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat kasus pembunuhan aktivis Munir.
Sebab, kata Taufan, semestinya terdapat lima orang yang mesti mengisi posisi pada struktur Tim Ad Hoc.
Namun, hingga saat ini baru terdapat tiga nama yang bersedia menjadi anggota Tim Ad Hoc yakni dirinya, Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, dan eks Sekretaris Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir, Usman Hamid.
"Dua lagi kami sedang menghubungi dan meminta kesediaannya karena belum ada pernyataan kesediaannya secara resmi maka pada hari ini belum bisa kami sebutkan," ungkapnya.
Di sisi lain, Taufan memastikan pembentukan Tim Ad Hoc ini merupakan langkah terobosan pihak Komnas HAM ke depannya dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM berat.
Langkah itu diyakininya meski Tim Ad Hoc penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat kasus pembunuhan aktivis Munir belum dapat menjalankan tugas dikarenakan tersendat jumlah anggota yang belum lengkap.
"Ini langkah terobosan hukum dan kita juga punya argumentasi yang kuat yang sudah disampaikan dalam laporan tim yang kedua yang dipimpin Pak Beka, itu salah satunya. Juga mendiskusikan mengenai argumentasi hukum manakala misalnya dalam kasus seperti dialami oleh saudara Munir satu orang. Sebagaimana itu bisa disebut sebagai dugaan pelanggaran HAM yang berat, argumentasinya sudah dibuat," pungkasnya. (mg2/ree).
Load more