Jakarta - Keputusan sepihak dari beberapa pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memberhentikan Suharso Monoarfa sebagai Ketua Umum menuai polemik dan sorotan tajam.
Apalagi, menunjuk Muhammad Mardiono sebagai Plt. Ketua Umum, juga dinilai tidak sah. Parahnya lagi, keputusan pemberhentian yang diambil dalam forum musyawarah kerja nasional (Mukernas) tersebut dianggap menyalahi AD/ART PPP.
"Etika berpolitiknya sudah keliru. Bahkan bisa disebut sebagai sabotase, manufer ataupun kudeta," terang pengamat politik dari
Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, ketika dihubungi wartawan dari media ini, Kamis (8/9/222) siang.
"Alasan yang digunakan juga tidak baik dan sama saja tidak menghormati hak dari Ketua Umum (Suharso). Padahal, Suharso harus dinilai berhasil. Sebab dia, punya kontribusi, andil besar dalam memimpin PPP. Contohnya saja, dia mendapatkan porsi yang tinggi atau posisi yang baik di pemerintahan (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Pembangunan Perencanaan Nasional (Bappenas). Posisi ini tidak mudah didapat, untuk itu harus dihormati," sambungnya.
Dikatakannya lagi, pelantikan Mardiono sebagai Plt. ketua umum sangat menabrak norma yang ada. Apalagi, nama ketua umum dan sekretaris jenderal yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah Suharso dan Arwani Thomafi. Hal ini juga yang membuat Suharso tidak bisa diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua umum.
"Ini bukan cara PPP yang terhormat dan kita ketahui lebih mengutamakan musyawarah. Tentu akan membuat simpatisan Suharso untuk bergerak ke arah perlawanan. Tentu tidak baik untuk PPP yang punya pekerjaan rumah berat dalam menatap 2024," katanya.
"Apalagi tidak ada bukti kuat atau alasan untuk menggantikan Suharso. Kalau alasannya hanya soal kegaduhan, ketua umum terdahulu juga demikian, tetapi faktanya mereka tidak sampai dibuat seperti ini. Kecuali dia (Suharso) terbukti kriminal seperti Romy (Muhammad Romahurmuziy), maka bisa diambil tindakan seperti pemecatan," tambahnya.
Load more