Jakarta - Kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua hutabarat atau Brigadir J yang didalangi oleh sang majikan Ferdy Sambo, terus mengalami perkembangan.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo-tengah (Antara)
Lima anggota Polri selesai menjalani masa penetapan khusus (Patsus) terkait pelanggaran etik tidak profesional dalam penanganan kasus pembunuhan Brigadir J.
Anggota Polri yang selesai menjalankan patsus kembali bertugas ke Pelayanan Markas (Yanma) sesuai surat telegram mutasi yang diterimanya.
“Yang di patsus kalau enggak salah sudah ada yang selesai (menjalankan), kecuali yang tersangka tindak pidana, secara pidananya kan ditahan,” ujar Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu (10/9/2022).
Total ada 18 anggota Polri yang menjalani sanksi penempatan khusus dari 35 orang terduga pelanggar. Dari jumlah itu terdapat tujuh orang berstatus tersangka menghalangi penyidikan Brigadir J, dan tiga orang berstatus tersangka pembunuhan Brigadir J.
Tiga orang yang berstatus tersangka dilakukan penahanan, sedangkan yang melakukan pelanggaran etik dilakukan penempatan khusus di Mako Brimob dan Provos Mabes Polri. Dedi menambahkan, lima anggota Polri yang selesai menjalankan Patsus dan kembali bertugas sebagai anggota Yanma dengan pengawasan ketat.
“Ditempatkan sesuai dengan putusan (mutasi) di Yanma jadi di bawah pengawasan Yanma dan Propam setiap hari diawasi,” pungkasnya.
Bharada E, Bripka RR, Ferdy Sambo
Kuasa hukum Bripka RR atau Ricky Rizal, Erman Umar membeberkan kesaksian Bripka RR yang menolak perintah Ferdy Sambo untuk menembak Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Bripka RR awalnya dipanggil oleh Ferdy Sambo untuk menanyakan tentang apa yang terjadi kepada Putri Candrawathi di Magelang. Erman Umar mengatakan saat itu Bripka RR mengaku tidak mengetahui apa-apa yang terjadi antara Putri dan Brigadir J.
"Dipanggil, dia tanya, ‘ada kejadian apa di Magelang? Kamu tahu enggak?. Enggak tahu’. Ini Ibu dilecehkan,’. Dan itu sambil nangis dan emosi," ucapnya saat ditemui di Bareskrim Polri, Jakarta Jumat (9/9/2022).
Lebih lanjut, Bripka Ricky Rian mengaku saat ditanya oleh Ferdy Sambo, saat itu Putri Candrawathi ada di dalam ruangan yang sama. Ia menjelaskan saat itu Putri Candrawathi mengaku dilecehkan oleh Brigadir J.
Saat dipanggil, Bripka RR ditanyai kesanggupannya untuk menembak Brigadir J. Namun ia menolak lantaran tak kuat mental dan diminta memanggil Bharada E.
"’Kamu berani nembak? Nembak Yosua?’ Dia bilang saya enggak berani Pak, saya enggak kuat mental, enggak berani, Pak. ‘Ya sudah kalau begitu kamu panggil Richard’,” jelas Erman sambil menirukan bicara Bripka RR dan Ferdy Sambo.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Dmanik-tengah (Antara/Asprilla Dwi Adha)
Komnas HAM menemukan fakta baru terkait kasus penembakan Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo. Komnas HAM menduga tidak hanya ada 2 eksekutor yang menembak Brigadir J, melainkan 3 orang. Hal tersebut berdasarkan hasil uji balistik.
"Kalau kita lihat dari besarnya lubang peluru yang ada dan juga hasil balistik yang telah kita lakukan itu yang kemudian saya sebut bisa jadi tiga orang pelakunya," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik kepada awak media, Sabtu (3/9/2022).
Ahmad Taufan Damanik mengatakan hasil tersebut berbeda dengan keterangan yang diberikan oleh dua tersangka, yakni mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo dan Bharada E.
Ia juga meminta agar penyidik dapat mencari bukti pendukung lain agar dapat mengungkap semua pelaku penembakan.
"Kaitan dengan tiga penembak siapa yang penembak itu. Pihak FS bilang itu cuman Bharada E, tapi kalau kata Bharada E bukan cuman dia. Maka bisa jadi saja ini tiga orang."
"Apa tidak mungkin, misalnya penembaknya tiga orang? Poin utamanya adalah meminta penyidik mencari bukti-bukti pendukung yang kuat selain keterangan," lanjutnya.
Putri Candrawathi (tvOne/Julio Trisaputra)
Terkait tidak ditahannya tersangka Putri Candrawathi pengacara keluarga Brigadir J, Yonathan Baskoro buka suara. Ia meminta Polri agar segera melakukan penahanan kepada istri Ferdy Sambo tersebut karena berstatus tersangka pembunuhan.
Ia menganggap Polri telah memberikan perlakukan yang berbeda ke Putri Candrawathi dengan tidak menahannya.
"Polri harusnya segera tahan, semua harus sama di mata hukum. Tidak tebang pilih," ujar Yonathan Baskoro kepada awak media, Jumat (2/9/2022).
Bukan tanpa alasan, Yonathan mengaku takut akan menimbulkan permasalahan baru jika Putri Candrawathi tidak segera ditahan. Apalagi menurutnya istri mantan Kadiv Propam itu bisa saja membuat skenario baru dalam penanganan kasus kematian sang ajudan.
"Kalau PC enggak ditahan dia bisa saja buat-buat skenario lain dan citra Polri institusi yang ingin kita jaga ini menjadi taruhannya," lanjutnya.
Yonathan juga menyinggung masalah Putri Candrawathi dengan kasus ibu lainnya yang ikut ditahan meskipun memiliki balita. Ia menyebut nama Prita Mulyasari yang pernah ditahan lantaran kasus pencemaran nama baik.
"Bagaimana dengan ibu-ibu yang lain? Seperti empat ibu rumah tangga di NTB, Niti Setia Budi, kasus Prita 2008? Baiq Nuril yang mengalami dugaan pelecehan seksual malah ditahan dan banyak juga yang lainnya yang tidak tersorot media."
"PC masih terlihat sehat, segar bugar dan modis saat rekonstruksi kemarin. Hukum jangan tumpul ke atas tajam ke bawah. Jika saja bukan istri jenderal saya yakin tidak akan sampai begini sulitnya untuk melakukan penahanan," pungkas Yonathan. (mii/ree/Mzn)
Jangan lupa tonton dan subscribe YouTube tvOnenews.com:
Load more