Ketika Presiden Soekarno mencetuskan operasi Dwikora dalam peristiwa konfrontasi Indonesia dan Malaysia pada Januari 1963, Letda Pierre Tendean bertugas sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II Bukit Barisan, di Medan.
Setelah berhasil menamatkan pendidikan intelijen ini, Letda Pierre ditugaskan untuk memimpin suatu kelompok sukarelawan mengadakan penyusupan ke daerah Malaysia, dengan Surat Perintah Direktur Zeni no.SP.507I11I 1963.
Foto: Apel besar sukarelawan “Ganyang Malaysia” di depan Istana Merdeka, Jakarta 3 Mei 1964 (Dok.Arsip Nasional)
Dalam melakukan tugas ini, Letda Pierre diperbantukan kepada Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) yang bertugas di garis depan. Mereka bermarkas di Selat Panjang, Riau.
Selama satu tahun itu, Pierre Tendean dan pasukan yang ia pimpin tiga kali berhasil memasuki daerah musuh. Perawakannya yang tinggi besar menyerupai bule membantu Pierre dalam menjalankan tugas intelijen.
Dikisahkan dalam suatu penyusupan, speedboot yang dinaiki Pierre dan anak buahnya dikejar oleh sebuah kapal destroyer Inggris. Melihat keadaan ini, ia cepat-cepat membelokkan speedbootnya dan memerintahkan anak buahnya untuk berenang menuju ke perahu nelayan.
Foto: Pidato Presiden Soekarno dalam apel besar sukarelawan “Ganyang Malaysia” di depan Istana Merdeka, Jakarta 3 Mei 1964. (Dok.Arsip Nasional)
Agar tidak diketahui oleh nelayan-nelayan yang berada dalam perahu, Pierre dan kawan-kawannya bergantungan di bagian belakang perahu dengan seluruh badan membenam dalam air. Musuh pun berlalu setelah mereka melihat bahwa yang ada di dalam perahu hanya nelayan-nelayan yang tidak mencurigakan.
"Seluruh keluarganya, terutama ibu Pierre menjadi sangat prihatin ketika Letda Piere mendapat tugas khusus menyusup ke daerah Malaysia, diperbantukan kepada Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat yang bertugas di garis depan." ungkap Masykuri dalam bukunya.
Foto: Kapten Pierre Tendean (Wikpedia - IG @pierresangpatriot)
Ibu Pierre Tendean, Maria Elizabeth, berusaha agar Pierre segera ditarik kembali ke garis belakang. Ia merasa garis belakang pertempuran adalah tempat yang aman untuk putra satu-satunya itu. Walaupun Pierre sendiri lebih menyukai tugas berbahaya yang Ia jalani di garis depan pertempuran.
Kebetulan Maria merupakan kawan baik dari mertua Jenderal Nasution, yang tinggal bersama-sama dengan menantunya itu di jalan Teuku Umar 40 Jakarta, sehingga ada hubungan baik antara keluarga Jenderal Nasution dengan keluarga Dr.Tendean.
"Karena itu lbu Tendean memberanikan diri memajukan permohonan kepada Jenderal A.H. Nasution yang ketika itu menjabat Menko Hankam KASAB, agar puteranya, Letda Pierre Tendean ditarik dari tugas khusus yang sangat berbahaya itu" tulis Masykuri.
Foto: Kapten Pierre Tendean dan Keluarga (Sumber: @vz_pierre)
Permohonan serupa juga diajukan kepada Mayor Jenderal Dendi Kadarsan yang ketika itu menjabat Direktur Zeni Angkatan Darat yang telah dikenal Ibu Tendean sejak puteranya menjadi Taruna ATEKAD di Bandung.
Pierre Tendean, kemudian akhirnya ditarik pulang berkat permintaan ibunya itu dan ditempatkan dalam tugas baru, sebagai Ajudan Menhan Pangab, Jenderal Nasution.
Tapi ajal manusia siapa yang dapat menebak, Kapten Pierre Tendean gugur, justru disaat ia berada ditempat yang dekat dengan ibunya.
Gugur Dalam Sumur Tua Sempit di Lubang Buaya
Minggu 3 Oktober 1965 pagi, pusat operasi G30S PKI di kawasan Lubang Buaya akhirnya takluk dibawah serbuan RPKAD dan pasukan gabungan dari Kostrad.
Dari kejauhan, bayang-bayang baret merah pasukan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) pimpinan Mayor CI Santoso itu terlihat semakin mendekat.
Melihat itu, pasukan-pasukan bersenjata dari pemuda rakyat dan gerwani dalam jumlah besar itu hilang nyalinya, meski jumlah mereka banyak, jelas bukan tandingan pasukan khusus sekelas RPKAD. Sontak para pasukan pendukung G30S PKI itu kabur meninggalkan kawasan Lubang Buaya.
Foto: Kapten Anumerta Piere Tendean bersama dengan kedua kakak
perempuannya Mitzi Farre (duduk) dan Rooswidiati (Masykuri, "Pierre Tendean" - 1983/1984)
Pasukan RPKAD yang berada dibawah komando Mayjen Soeharto dan Jenderal Nasution itu kemudian melakukan penyisiran. Hasilnya sekira pukul 17.15 sore, mereka menemukan sebuah lubang mencurigakan, dengan kedalaman sekitar 12 meter dan berdiameter 0,75 meter.
Lubang yang merupakan sumur tua itu ditimbun dengan sampah-sampah kering, batang-batang pohon pisang, daun singkong dan tanah secara berselang-seling.
Didalam lubang tersebut, ditemukan sejumlah jasad yang belum dikenali. Namun diduga kuat, jasad tersebut terkait dengan hilangnya para jenderal pimpinan Angkatan Darat yang diculik oleh kelompok G30S PKI pada dini hari, tanggal 1 Oktober.
Foto: Kakak Pierre Tendean, Mitzi dan Bonnie putranya disamping makam Piere.(Masykuri, "Pierre Tendean" - 1983/1984)
Karena kondisi mulai gelap, proses penggalian mengalami sejumlah kendala teknis, maka diputuskan proses evakuasi jasad di dalam lubang tersebut akan dilanjutkan pada keesokan harinya, Senin 4 Oktober 1965.
Senin pagi itu, karena sempit dan dalamnya lubang sumur tua itu, pengangkatan jenazah yang terkubur di dalamnya menjadi sangat sulit dilakukan.
Sumur tua itu dalamnya 12 meter dan garis tengahnya hanya lebih kurang 0,75 meter, ditimbun dengan sampah-sampah kering, batang-batang pohon pisang, daun singkong dan tanah secara berselang-seling.
Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto datang langsung memantau proses penggalian. Ia tak datang sendiri, bersamanya ikut serta para pimpinan Angkatan Darat dan rombongan wartawan yang mengabadikan langsung proses pengangkatan jenazah tersebut.
Secara teknis penggalian dilakukan oleh anggota-anggota Kesatuan Intai Para Amphibi (KJPAM) dari KKO Angkatan Laut dengan memakai alat-alat seperti tabung zat-zat asam dan lain sebagainya.
Masykuri, dalam bukunya "Pierre Tendean" terbitan 1983/1984 menceritakan jam demi jam proses pengangkatan jenazah para korban G30S PKI tersebut.
Foto: Film Pengkhianatan G30S PKI, Suasana pengangkatan jenazah di Lubang Buaya
Pada pukul 12.00, pertama kali berhasil dinaikkan jenazah Lettu. Pierre Tendean, Ajudan Jenderal Nasution. Pada jam 13.40 menyusul jenazah Mayor Jenderal Suprapto dan Mayor Jenderal S. Parman.
Pada jam 13 .50, jenazah Letjen A. Yani yang diikat menjadi satu dengan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, serta jenazah Mayor Jenderal Haryono MT. Dan akhirnya, pada jam 14.10 berhasil diangkat jenazah Brigadir Jenderal DJ. Panjaitan.
Dari urut-urutan pengangkatan jenazah itu tampaklah bahwa Lettu. Pierre Tendean merupakan perwira yang paling akhir dilemparkan ke dalam sumur maut oleh pelaku G30S PKI.(Buz)
Ikuti terus berita terbaru lainnya melalui channel YouTube tvOneNews:
Load more