Jakarta - Koordinator Save Our Soccer (SOS) Akmal Marhali menyebut Indonesia terancam gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 akibat tragedi ratusan orang meninggal dunia seusai kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Menurut Akmal, angkat tersebut sudah melebihi jumlah korban tragedi Heysel, 29 Mei 1985 yang terjadi pada Final Liga Champions antara Liverpool VS Juventus yang menewaskan 39 orang.
"UEFA bersikap tegas dengan menghukum klub Liga Inggris tidak boleh beraktivitas di kompetisi sepak bola Eropa selama lima tahun. Jumlah korban tewas tragedi Kanjuruhan sudah melebihi tragedi Heysel, sehingga bukan mustahil status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 ditinjau ulang," ujar Akmal kepada tvOnenews.com, Minggu (2/10/2022).
Dia menjelaskan semua pihak, mulai dari pemerintah, perangkat keamanan, hingga lembaga kemanusiaan lainnya perlu turun tangan dan membuat atensi khusus terkait tragedi Kanjuruhan.
Sebab, dia mengatakan FIFA bisa saja menjatuhi hukuman serupa jika terbukti ada pelanggaran-pelanggaran terkait jalannya sepak bola di Indonesia.
"Indonesia bisa terancam gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia kalau kemudian kasus itu menjadi perhatian khusus FIFA karena jatuhnya korban yang sangat banyak," jelasnya.
Selain itu, Akmal menilai PSSI tidak mampu menjalankan tugasnya sehingga FIFA bisa melihat hal tersebut yang perlu ditinjau ulang tentang keikutsertaan Indonesia dalam laga internasional.
"FIFA bisa melihat PSSI tidak siap untuk menjalankan tugas sebagai tuan rumah, misalnya Piala Dunia U-20 ada kasus serupa terjadi, baik itu dalam hal penanganan suporter atau hal-hal terkait dengan keselamatan dan kenyamanan dalam laga sepak bola di Indonesia," imbuhnya.
Pelanggaran Tragedi Kanjuruhan Terkuak
Koordinator Save Our Soccer (SOS) Akmal Marhali angkat suara terkait tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang memakan korban jiwa hingga ratusan orang. Tregedi tersebut terjadi pascapertandingan Liga 1 antara Arema FC VS Persebaya, Sabtu (1/10/2022) malam.
Menurut Akmal, terdapat pelanggaran-pelanggaran yang terkuak yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dalam laga sepak bola di Indonesia. Dia lantas menyinggung soal regulasi yang tidak diketahui pihak keamanan, bahkan pemerintah diam enggan mengingatkan soal regulasi keamanan di sepak bola.
"Kasus ini terjadi karena adanya pelanggaran prosedural, SOP (Standar Operasional Prosedur), regulasi, dan Safety and security stadium regulation milik FIFA," kata Akmal kepada tvOnenews.com, Minggu (2/10/2022).
Menurutnya, tregedi maut tersebut terjadi karena tindakan yang kurang tegas dan tidak preventif dari pelaku sepak bola di Indonesia.
"Tragedi di Stadion Kanjuruhan bukan soal rivalitas, melainkan fanatisme sempit yang kebablasan sehingga membuat banyak korban meninggal," jelasnya.
Selain itu, Akmal menyoroti soal jumlah penonton yang melebihi batas kapasitas Stadion Kanjuruhan, yang mana telah disepakati sebanyak 25 ribu tiket.
Namun, Panitia Pelaksana (Panpel) Arema FC menyatakan tiket untuk pertandingan melawan Persebaya mencapai 45 ribu untuk derbi Jawa Timur tersebut.
"Jumlah penonton yang hadir itu melebihi kapasitas yang diberikan sehingga mimbulkan penonton berjubel di stadion," imbuhnya.
Selanjutnya, Akmal mengatakan tragedi itu bisa terjadi karena jadwal pertandingan yang dilakukan larut malam, sehingga potensi korban jiwa bisa terus-menerus terjadi bila tidak ada evaluasi dan kejelasan aturan tersebut.
"Kami sudah kerap menyampaikan PSSI dan LIB seharusnya merivisi ulang jadwal pertandingan sepak bola yang larut malam. Sebab, itu sangat mengganggu keamanan dan kenyataannya sudah ada banyak korban selain tragedi Kanjuruhan," tambahnya.
Adapun sorotan Akmal ialah soal beberapa korban jiwa suporter Arema FC, Persebaya, dan Persib Bandung yang meninggal karena pertandingan larut malam. Hal itu dirasa terjadi karena faktor kelelahan hingga kecelakaan seusai menonton pertandingan.
Pengamat Desak Kapolri Copot Kapolda Jatim dan Kapolres Malang
Imbas jatuhnya ratusan korban jiwa akibat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Peneliti Institute for Security and Strategis Studies (ISESS) Bambang Rukminto mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mencopot Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat dan Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta.
Menurut Bambang, tragedi ini sebetulnya bisa tak terjadi apabila panitia dan aparat kepolisian dapat bertindak presisi, prediktif dan responsible. Sehingga, dapat prevent pada kedaruratan.
Terlebih soal penggunaan gas air mata, kata Bambang, ada status FIFA yang menyatakan larangan penggunaan gas air mata dalam pengendalian massa di dalam stadion.
"Tragedi itu menunjukkan polisi tidak bisa melakukan prediksi dan pencegahan bila terjadi kerusuhan di dalam stadion sehingga berjatuhan korban akibat desak-desakan di pintu yang sempit karena kepanikan suporter," ungkap Bambang saat dihubungi, Minggu (2/10/2022).
Dalam tragedi ini, sambung dia, harus dilihat bahwa tidak semua suporter adalah perusuh.
Sehingga, tidak bisa kita dalam hal ini hanya menyudutkan para suporter tanpa melihat peran aparat dalam pengamanan.
"Prediksi dan prevention itu meliputi rencana pengamanan, jumlah personel dan antisipasi bila ada kedaruratan," ucap Bambang.
Sekali lagi, tegas Bambang, atas tragedi ini ISESS mendesak agar Kapolri segera mencopot Kapolres Malang sebagai penanggung jawab keamanan pertandingan dan keamanan wilayah Malang.
"Kemudian dilihat dari pernyataannya tadi menunjukkan Kapolda Jawa Timur tidak memiliki empati pada korban sehingga menyalahkan suporter. Kapolri harus copot beliau," tegas Bambang.
"ISESS juga menuntut Kapolri untuk mengusut tuntas penanggung jawab penyelenggaraan pertandingan sehingga terjadi tragedi besar ini," tandasnya. (rpi/nsi/lpk/muu)
Load more