Jakarta - Penggunaan gas air mata dalam upaya pengendalian kerusuhan di Indonesia, memerlukan regulasi yang disepakati bersama seluruh lintas sektor. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi dampak kesehatan pada penderita kata seorang pejabat Kemenkes RI.
"Kebijakan Kemenkes, yang terpenting ada kerja sama lintas sektor terkait pemanfaatan gas air mata, apakah itu sangat penting untuk digunakan dalam pengendalian kerusuhan," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Eva Susanti dalam konferensi pers dalam jaringan Hari Pengelihatan Sedunia yang diikuti dari Zoom di Jakarta, Selasa.
Eva mengatakan, diperlukan regulasi yang kuat dalam penggunaan dosis tinggi gas air mata bagi keperluan pengendalian kerusuhan yang melibatkan massa.
Gas air mata mengandung zat kimia chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA) dan dibenzoxazepine (CR), yang dapat berimplikasi pada risiko kesehatan.
"Gas air mata ada sedikit kegunaannya untuk kerusuhan dan lain sebagainya, tapi sebenarnya tidak mematikan. Cedera serius kalau paparannya dalam dosis banyak," katanya.
Pengaruh gas air mata secara instan pada penderita dapat mengganggu proses penglihatan, yang dapat berujung pada benturan fisik, cedera tulang, cedera pembuluh darah, dan lainnya.
"Indikasi penggunaan gas air mata harus ada kerja sama yang lebih baik lagi ke depan," katanya.
Load more