Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani menilai parlemen dunia perlu memastikan perdagangan pangan dan komoditas pertanian yang terbuka, adil, transparan, dan non-diskriminatif.
Hal itu ia sampaikan saat memimpin sesi kedua sidang the 8th G20 Parliamentary Speakers Summit (P20) P20, dengan tema "Keamanan Pangan dan Energi serta Tantangan Ekonomi" di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
"Tindakan pembatasan hanya akan mengancam rantai pasok dan perdagangan pangan global yang berimbas paling besar bagi negara-negara berkembang dan negara miskin," ujar Puan.
Dalam sesi tersebut, Puan menyoroti soal krisis pangan dan energi global yang diperparah akibat pandemi, perubahan iklim dan ketegangan geopolitik.
Di mana merujuk data World Food Program sebanyak 828 juta orang menderita kelaparan pada 2022, sedangkan kenaikan harga pangan mencapai 21 persen di tahun 2021.
"Dunia perlu ambil tindakan segera untuk mengatasi tantangan ketahanan pangan dan energi, serta memulihkan gangguan rantai pasok," ucapnya.
Menurut Puan, berbagai tantangan ini menegaskan bahwa kolaborasi inklusif antara semua pemangku kepentingan mutlak dilakukan, terutama dengan lembaga keuangan internasional, sektor swasta dan like minded countries.
Lebih lanjut, ia menyebut solidaritas dan kerja sama multilateral juga harus diarahkan untuk membantu negara yang paling terkena dampak krisis untuk menjawab kebutuhan jangka pendek dalam ketahanan pangan dan energi, serta memperkuat stabilitas keuangan global.
Puan menyatakan, pemerintah membutuhkan peran serta parlemen yang lebih kuat dalam upaya mengatasi tantangan global, membangun ketahanan pangan dan energi, serta mempercepat pemulihan ekonomi.
"Penting sekali bagi parlemen berkolaborasi demi menjamin akses pangan dan energi, serta menjawab tantangan ekonomi. Khususnya melalui fungsi penganggaran, pembuatan undang-undang, dan pengawasan yang kita miliki," ucapnya.
Dengan kolaborasi bersama, terutama antara negara G20 sebagai sebagai ekonomi terbesar di dunia, Puan menyebut tantangan terhadap tingginya harga pangan dan energi serta lambatnya pertumbuhan ekonomi global dapat dikelola dengan lebih baik.
Adapun pembicara dalam sesi kedua P20 itu adalah pimpinan parlemen Azerbaijan Sahiba Gafarova, pimpinan parlemen Rusia Valentina Matvienko dan Kim Young Joo dari Korea Selatan.
Sementara dalam sesi ketiga sidang P20 bertema "Parlemen Efektif, Demokrasi Vibrant", Puan menyoroti persoalan tren penurunan kualitas demokrasi pada beberapa tahun terakhir akibat kemunculan pandemi COVID-19.
"Pembatasan pergerakan manusia sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19 dan kewajiban vaksinasi dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia karena bersifat memaksa dan menghalangi kebebasan bergerak individu," jelas Puan.
Selain itu, tambah dia, pandemi juga dinilai oleh sebagian pihak menghambat pelaksanaan fungsi-fungsi legislatif sehingga kinerja parlemen terganggu. Hal itu dapat dilihat dari intensitas komunikasi dan interaksi antara anggota parlemen dan masyarakat yang terhambat akibat pandemi.
Dengan demikian, Puan menyampaikan bahwa penurunan demokrasi tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Ia menilai negara-negara dunia harus menghadirkan demokrasi yang lebih kuat, dinamis, dan pelaksanaan tugas parlemen yang lebih efektif.
Di samping itu, lanjut dia, parlemen pun dituntut memperkuat demokrasi pascapandemi dengan memastikan bahwa demokrasi menjamin kebebasan, hak asasi manusia, pemerintahan yang baik, serta mendukung tercapainya kesejahteraan.
Puan berharap diskusi dalam sesi ketiga ini dapat membuat parlemen dunia lebih menjaga dan memperkuat demokrasi di tengah berbagai tantangan global dan tren penurunan kualitas demokrasi yang tengah terjadi.
Adapun pimpinan parlemen yang menjadi pembicara di sesi ketiga Sidang P20 ini adalah Om Birla dari India, Milton Dick dari Australia, Mustafa Sentop dari Turki, dan Chuan Leekpai dari Thailand.(ant/chm)
Load more