Jakarta - Awal Juni 2007, tepat perayaan ulang tahun ke-75 sang begawan hukum Indonesia, terbitlah sebuah buku bertajuk "J.E. Sahetapy … yang Memberi Teladan dan Menjaga Nurani Hukum & Politik". Buku itu disusun oleh tim yang dikomandani oleh Mohammad Saihu Sholihan, diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional RI.
"Keteladanan, telah menjadi barang langka, penegakan hukum, juga mengalami banyak kendala. Tetapi perjuangan untuk memberikan keteladanan dalam menjaga nurani hukum dan politik dengan berbagai konsekuensinya, telah diperjuangkan sejak lama oleh J.E Sahetapy. Integritas dalam penegakan hukum, kecemerlangan dalam pemikiran, dan sikap kritis yang disuarakan, telah menempatkannya sebagai pakar hukum yang memiliki nurani," demikian abstrak buku itu.
Dalam sebuah resensi, disebutkan, "Pandangannya nyaris tidak berubah, meski sudah pensiun sebagai Guru Besar Ilmu Hukum sejak sepuluh tahun lalu (1997 *red). Kata-katanya tegas, lugas dan terkadang menyengat. Yang diserang bukan hanya orang-orang yang ia sebut ‘memperkosa' hukum lewat jabatan, tetapi juga menggadaikan pendapat hukum demi pendapatan," demikian pandangan portal hukumonline, mendeskripsikan J.E. Sahetapy atas buku tersebut.
Itulah sosok yang dipahami banyak orang dari Profesor Jacob Elfinus Sahetapy, atau yang biasa disapa orang J.E. Sahetapy. Ia lahir di Saparua 6 Juni 1932. Selama puluhan tahun Sahetapy menggeluti dunia hukum dan menuangkannya ke dalam tulisan. Ia wafat pada Selasa 21 September 2021.
Ia termasuk sosok sangat kritis melihat dunia hukum di Indonesia.
Sudah sejak lama ia merasa gerah dengan bau busuk praktek hukum. Indonesia tak ubahnya laksana rumah sakit jiwa dimana penghuni kebanyakan orang gila.
"Sejak masih menjadi mahasiswa, saya selalu menggumuli dan merasa prihatin akibat pendidikan ibu saya tentang permasalahan-permasalahan hukum yang diperkosa dan diselewengkan," kata Sahetapy dalam buku ‘biografi tulisannya' itu.
Guru Kaum Muda
Budayawan Mohammad Sobari mendeskripsikan Prof Sahetapy sebagai guru bagi kaum muda. Dikutip dari laman hukumonline, Mohamad Sobari menyebut Sahetapy sebagai orang ‘yang lurus dan idealis hidupnya'.
"Cukup banyak guru besar ilmu hukum di Indonesia. Tetapi jarang guru besar yang mau turun mendengarkan kaum muda berdiskusi masalah hukum seperti halnya Sahetapy," demikian Sobari.
Ia kerap hadir sebagai peserta di seminar atau diskusi publik, meskipun pembicaranya adalah murid-muridnya. Sahetapy bersedia turun gunung untuk mengamalkan segenap idealisme dan pengetahuannya ke dalam kehidupan riil.
Prof Sahetapy bukan hanya mengamati tetapi juga menuliskannya.
Karakter Jekyll dan Hyde
Prof Sahetapy menyebut para penegak hukum dan politikus, dalam arti luas, sebagai Dr. Jekyll dan Mr. Hyde.
Tokoh dari Novel Strange Case of Dr Jekyll and Mr Hyde karya Robert Louis Stevenson yang diterbitkan 1886 ini sering dijadikan frase yang menggambarkan kepribadian ganda; jahat dan baik dalam satu persona.
Di muka terlihat baik, sementara di belakang ternyata jahat.
Prof Sahetapy seakan tidak rela hukum disalahkan karena ulah oknum penegak hukum tersebut. Hukum bukan persona.
Berangkat dari situ, Prof Sahetapy menggarisbawahi fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengganjal reformasi hukum.
Berdasarkan pengamatan Prof Sahetapy, di zaman Soeharto, penegakan hukum dijegal oleh UU Subversi.
Cahaya reformasi yang diusung Habibie dianggap ilusi semata oleh Prof Sahetapy. Lantaran, peraturan perundang-undangan, contohnya UU Korupsi No. 31 Tahun 1999, yang disiapkan dalam masa pemerintahannya berubah menjadi bom waktu.
Pujian dilontarkan Prof Sahetapy pada Gus Dur. Menurutnya, Gus Dur tadinya memberikan kesan sejuk pada reformasi hukum. Tapi, karena sikapnya yang ceplas ceplos dan dianggap bergaya LSM, Gus Dur dijatuhkan oleh apa yang disebut Prof Sahetapy sebagai ‘permufakatan jahat' orang-orang yang tadinya mendukungnya.
Prof Sahetapy dengan lugas mengumpamakannya laksana drama penghianatan Caesar oleh tangan kanannya, Brutus. Wajah bopeng hukum yang telah dipupuk sejak jaman Soeharto akhirnya tidak terbendung lagi pada masa Megawati.
"Menjaga nurani hukum dan politik memang tidak mudah. Harus ada orang yang bersedia melawan arus, sepanjang perlawanan itu diyakini berada pada jalur yang benar. Kehadiran (buku J.E. Sahetapy … yang Memberi Teladan dan Menjaga Nurani Hukum & Politik) ini sedikit banyaknya menggambarkan pandangan Prof Sahetapy dalam konteks perlawanan itu," demikian tutup resensi itu. (ito)
Load more