Jakarta - Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan partainya mendukung wacana sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) asimetris.
Menurut dia, sistem pilkada asimetris itu menyesuaikan dengan aspek historis maupun budaya di masing-masing daerah.
Pria berkacamata itu lantas memberikan contoh terkait pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwono X di Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Ini di Jogja Sri Sultan Hamengkubuwono X karena aspek historis beliau dikukuhkan tidak dipilih begitu kan asimetrik," jelasnya.
Lebih lanjut, Hasto juga menjelaskan situasi pilkada di Provinsi Aceh dan Papua. Adapun kedua wilayah tersebut menerapkan sistem pemilihan sesuai dengan budaya daerah.
"Di Aceh itu, sebenarnya Papua itu juga sudah ada berbagai klause-klause yang menunjukkan bagaimana sistem pemilih itu juga sesuai dengan budayanya, tradisinya dan juga kerawanan-kerawanan sosial, indeks demokrasi, dan terkait dengan posisi strategisnya," tambah dia.
Kata Hasto, sisten pilkada asimetris harus diterapkan terutama di wilayah perbatasan seperti perbatasan Timor Leste, Singapura, Malaysia, hingga Filipina. Tujuannya untuk menghindari permainan pihak asing.
"Itu kita harus terapkan supaya berbagai infiltrasi kepentingan asing tidak terjadi. Dan pemilu secara langsung membuka ruang bagi kepentingan asing bermain," jelasnya.
Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan pilkada asimetris dapat dilakukan sebab setiap daerah memiliki berbagai macam budaya.
"Itu maksudnya tidak harus sama persis bahkan di daerah tertentu pilkadanya sudah bisa pakai elektronik, election ya," tuturnya dalam kesempatan yang sama.
Mahfud lantas menceritakan pengalamannya ketika mengusulkan sistem pemilihan langsung. Namun, cara tersebut tak bisa dilakukan hingga akhirnya kembali dilakukan dengan sistem noken.
Sebagai informasi, sistem noken adalah sistem pemilihan khusus untuk Provinsi Papua, terutama saat memilih kepala daerah. Sistem ini mempercayakan keputusan di pemimpin suku.
"Saya pernah mengusul di Papua, noken itu mau dibatalkan, gimana caranya? Kalau mereka suruh milih satu satu itu enggak bisa. Jadi diserahkan ke kepala suku," kata dia.
"kita tidak bisa membatalkan itu karena kalo dipaksa memilih satu persatu untuk kelompok adat tertentu di Papua, itu malah berkelahi, malah kepala adatnya 'ya sudah saya yang menentukan sekian untuk Golkar, sekian untuk PDIP, sekian untuk PPP'. Itu mereka bagi," pungkas Mahfud. (saa/ree)
Load more