Jakarta - Capaian hutan adat Indonesia mendapatkan apresiasi di acara pra UNFCCC COP27 yang diselenggarakan di Sharm El Sheikh, Mesir.
Capaian sampai dengan Oktober 2022 yakni 148.488 Hektar Hutan Adat kepada 105 komunitas adat dan indikatif hutan adat seluas 1.090.754 Hektar. Sedangkan untuk skema Perhutanan Sosial seluas 5,187,000 hektar untuk 7.814 komunitas lokal.
Laporan ini mendapatkan apresiasi yang sangat baik dari berbagai negara lain, seperti Iran, Nepal, Australia, Kenya dan Norwegia.
"Pengelolaan Komunitas Adat di Indonesia sangat menginspirasi dan memberikan pembelajaran yang baik bagi negara-negara lainnya untuk melestarikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional dalam rangka membangun masyarakat yang diakui dan negara yang berdaulat," kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu (6/11/2022).
Dalam rangkaian acara pra UNFCCC COP27 yang diselenggarakan di Sharm El Sheikh, Mesir, Bambang beserta Delegasi Republik Indonesia, menghadiri mandatory event the 8th Facilitative Working Group Local Communities and Indigenous People Platform (FWG LCIPP) yang diselenggarakan pada tanggal 1-4 November 2022 di COP 27 Venue Sharm El Sheikh International Convention Center.
"Agenda ini merupakan pertemuan tahunan para anggota LCIPP dan negara-negara mitra untuk mendiskusikan perkembangan pengelolaan indigenous people dan local community, tentunya pertemuan ini menjadi ajang penting untuk pertukaran informasi dan sharing pembelajaran antar setiap negara," kata Bambang.
Pada pertemuan tersebut, Bambang menyampaikan update terkait perkembangaan pengakuan dan pengelolaan komunitas Adat di Indonesia melalui penguatan kebijakan, pelaksanaan fasilitasi intensif dari pemerintah dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya serta peran Komunitas Adat dalam pengelolaan hutannya untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui penguatan kelembagaan, cultural value dan local wisdom.
Lebih lanjut, Bambang menyampaikan bahwa Indonesia mengangkat terminologi Komunitas Adat dengan merujuk kepada definisi Indigenous People. Mereka harus memenuhi kriteria: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban dan memiliki pengelolaan bersifat komunal; ada kelembagaan adatnya; ada wilayah hukum adat; ada pranata dan perangkat hukum adat, serta kehidupan masyarakatnya masih tergantung pada hutan.
"Untuk masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan namun tidak memenuhi kriteria sebagai komunitas adat disebut sebagai local communities dan diberikan akses serta pendampingan untuk mengelola hutan negara secara berkelanjutan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang, yang diberikan kepada kelompok tani hutan, dengan skema Perhutanan Sosial," ujarnya.
Sementara itu, Kasubdit Pengelolaan Hutan Adat Ditjen PSKL KLHK, Yuli Prasetyo Nugroho, menyampaikan bahwa Indonesia bersama Filipina yang mempunyai kebijakan mengenai adat bersama negara anggita yang lain untuk mengembangkan ASEAN Guidelines on Recognition of Customary Tenure in Forested Landscapes yang dapat mendukung aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Indonesia juga mendukung pelaksanaan identifikasi dan diseminasi informasi substantif tentang pengembangan dan penggunaan kurikulum perubahan iklim untuk Komunitas Adat dengan menitikberatkan pada sistem pendidikan formal dan informal bagi generasi muda dan para perempuan Adat.
Keterlibatan Indonesia dalam Forum FWG LCIPP ini sangat baik dan menginspirasi, mengingat Indonesia dihuni oleh ratusan suku-suku bangsa dengan kearifan lokal masing-masing yg menyebar dari Sabang sampai Merauke. Tradisi kearifan lokal yang diwariskan turun temurun, dari generasi kegenerasi yg memastikan pelestarian hutan dan lingkungan berlangsung secara efektif dan berkelanjutan. (ito)
Load more