Tindakan mulia itu pun didukung oleh istrinya Nyonya Amalia yang juga aktif dalam Gerakan Palang Merah dan menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Istri Indonesia (KPII).
Organisasi KPII ini pun kemudian berganti nama menjadi ‘Kongres Perempuan Indonesia’ pada Tahun 1935. Tahun 1946, namanya berganti lagi menjadi ‘Kowani’.
Dukungan istri diberikan kepadanya bukan hanya karena dr. Rubini bekerja melayani masyarakat sebagai tenaga kesehatan, namun juga sebagai seseorang yang sedang berjuang melawan penjajahan Jepang untuk kemerdekaan NKRI.
Tahun 1994, dr. Rubini dan istrinya meninggal dunia karena peristiwa pembunuhan kejam terhadap puluhan ribu orang dalam peristiwa pembunuhan massal rakyat, kaum terdidik dan tokoh masyarakat dari berbagai suku dan ras oleh tentara pendudukan Jepang di Kalimantan Barat.
Alasan dibunuhnya dr. Rubini adalah karena dianggap telah melakukan perlawanan terhadap Jepang. Jenazah mereka pun dimakamkan di Makam Juang Mandor, Kalimantan Barat.
“Bagi Kowani, dr. Rubini Natawisastra adalah tokoh pejuang kemerdekaan dan kemanusiaan yang sangat peduli pada kesetaraan gender atau gender equality dan dalam kampanye global dikenal he for she yang dirancangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.” (MG7/ree)
Load more