Jakarta - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membeberkan hasil investigasi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air Boeing 737-500 dengan nomor penerbangan SJY 182 yang jatuh di perairan kepulauan seribu, Jakarta pada Sabtu (9/1/2021) lalu.
"Menjelang ketinggian 11.000 kaki, permintaan tenaga mesin semakin berkurang, hal ini membuat thrust lever kiri semakin mundur," ujarnya saat jumpa pers laporan hasil investigasi tersebut di kantor KNKT, Jakarta Pusat, Kamis, (10/11/2022).
Diketahui, Autothrottle merupakan sistem pengatur gas yang memungkinkan pilot menentukan kecepatan (speed) dan dorongan (thrust) pesawat secara otomatis.
Nurcahyo menuturkan, pesawat Boeing 737-500 itu telah dilengkapi dengan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CTSM) yang berfungsi menonaktifkan Autothrottle jika terjadi asymmetry, untuk mencegah perbedaan tenaga mesin yang lebih besar.
"Penonaktifan Autothrottle terjadi antara lain jika flight spoiler membuka lebih dari 2,5” selama minimum 1,5 detik. Kondisi ini tercapai pada pukul 14.39.40 WIB saat pesawat udara berbelok ke kanan dengan sudut 15”, tetapi aufothrottle tetap aktif dan menjadi non aktif pada pukul 14.40.10 WIB," jelas dia.
Keterlambatan ini, kata Nurcahyo, diyakini karena flight spoiler memberikan informasi dengan nilai yang lebih rendah disebabkan karena penyetelan (rigging) pada flight spoiler. Adapun penyetelan pada flight spoiler ini belum pernah dilakukan di Indonesia.
"Asymmetry menimbulkan perbedaan tenaga mesin yang menghasilkan gaya yang membuat pesawat udara pesawat bergeleng (yaw) ke kiri," ungkapnya.
Secara aerodynamic, lanjut Nurcahyo YAW akan membuat pesawat miring dan berbelok ke kiri. Gaya miring yang membelokkan pesawat udara ke kiri yang dihasilkan oleh perbedaan tenaga mesin menjadi lebih besar dari gaya yang membelokkan ke kanan yang dihasilkan oleh aileron dan flight spoiler. Sehingga pesawat berbelok ke kiri.
Keterlambatan CTSM untuk menonaktifkan autothroftte menyebabkan perbedaan tenaga mesin semakin besar, dan pesawat udara berbelok ke kiri yang seharusnya ke kanan. Deviasi berbeloknya pesawat udara tidak sesuai dengan yang diinginkan merupakan indikasi bahwa pesawat udara telah berada pada kondisi upset.
"Perubahan yang terjadi di cockpit, antara lain perubahan posisi thrust level, penunjukan indikator mesin, dan perubahan sikap pesawat yang tergambar pada EADI (Electronic Attitude Direction Indicator) tidak disadari oleh pilot. Hal ini mungkin disebabkan karena kepercayaan (complacency) terhadap sistem otomatisasi," jelasnya.
Nurcahyo menjelaskan pada saat pesawat berbelok ke kanan, dan kemudi miring ke kanan dapat membuat pilot berasumsi pesawat berbelok ke kanan sesuai yang diinginkan.
Kondisi tersebut merupakan konfirmasi bias yaitu kondisi dimana seseorang mempercayai informasi yang mendukung opini atau asumsinya.
Complacency atau kepuasan terhadap sistem otomatisasi dan konfirmasi bias kemungkinan telah menyebabkan dikuranginya monitor pada instrumen dan keadaan lain yang terjadi.
"Pada saat kemudi miring ke kanan, sementara itu pesawat berubah menjadi minng dan berbelok ke kiri, kemudian disusul peringatan kemiringan yang berlebih (bank angle warning). Selanjutnya A/P menjadi non aktif (disengaged) dan kemudi dimiringkan ke kiri. Kurangnya monitonng pada instrumen," katanya.
Kata dia, kemudi yang miring ke kanan mungkin telah menimbulkan asumsi bahwa pesawat miring ke kanan sehingga tindakan pemulihan tidak sesuai.(rpi/muu)
Load more