Jakarta - Kebijakan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan galon yang diupayakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus menuai kontroversi di kalangan akademisi.
Draft awal kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai cenderung diskriminatif hingga menyampingkan kepentingan publik lainnya.
Hal itu seperti kebutuhan suplai air minum yang sehat untuk konsumsi harian masyarakat.
Menjawab pertanyaan itu, Forum Ngobras mengadakan diskusi dengan mengundang narasumber yang ahki dalam bidangnya.
Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS., Guru Besar
Kementerian Kesehatan, Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) yang dilakukan pada 2020, menyatakan 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air terkontaminasi bakteri E. coli.
“Kemenkes merekomendasikan kebutuhan air dalam sehari yaitu sekitar 8 gelas per hari. Betapa air memang sangat penting."
"Air harus aman dikonsumsi dengan syarat yang terbagi jadi dua garis besar yaitu, secara fisik dan kandungan. Secara fisik air tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa," ujarnya, Kamis (17/11/2022).
"Adapun secara kandungannya, harus bebas dari cemaran dan mikroba berbahaya. Dalam gaya hidup masyarakat dengan mobilitas tinggi seperti saat ini, kebutuhan tersebut dipenuhi oleh air mineral kemasan, dalam hal ini kemasan galon di rumah tangga juga,” lanjut Prof. Sulaeman.
Kendati demikian, timbul kegaduhan di masyarakat melalui narasi, risiko kesehatan pada kemasan galon guna ulang bahan polikarbonat yang mengandung BPA.
Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, pada kesempatan yang sama mengkritik narasi yang dibangun tersebut. Ia menyampaikan kebijakan ini cenderung diskriminatif.
"Terkait bahaya, harus melihat empat faktor. Jangan hanya menyebut nama zat tertentu lalu dikategorikan tidak boleh. Itu pemikiran yang salah dan terlalu primitif. Harus disebutkan tiga faktor lainnya yakni, konsentrasi, populasi, dan lama kontak. Baru bisa ditetapkan sebagai tanda bahaya," beber Zainal.
Ia menambahkan juga bahwa regulator perlu mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta ilmiah.
“Jangan mengambil kebijakan berdasarkan isu yang belum terbukti secara ilmiah. Kita perlu menjadi negara yang betul-betul teredukasi,” terang Ir. Akhmad Zainal. (ree)
Load more