Jakarta, tvOnenews.com - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus menuai polemik di kehidupan masyarakat.
Akademisi STIH Jentera, Bivitri Susanti menilai, jika RKUHP yang tengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah itu menyeleweng dan cenderung mengkriminalisasi rakyat.
"(Dalam RKUHP, demo tidak izin dipenjara 6 bulan, gimana tanggapannya?) Ini ngaco, karena sebenernya kita udah punya undang-undang tentang menyatakan pendapat di muka umum, tahunnya ya pasca 98 kan itu yang lebih tepat bahwa yang namanya demonstasi itu hanya memberitahukan karena itu kan hak asasi manusia (HAM)," kata Bivitri saat ditemui disela-sela diskusi publik bertajuk 'Menelisik Zona Nyaman Jokowi' di Jakarta Pusat, Minggu (4/12/2022).
Menurut dia, unjuk rasa itu adalah kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.
"Karena dijamin, maka bukannnya harus dapat izin tapi sifatnya pemberitahuan," tegasnya.
Dia menjelaskan, manfaat dari pemberitahuan ialah jikalau terjadi sesuatu, pihak kepolisian sudah siap mengantisipasi sebagai penegak hukum.
"Jadi, bukan izin. Nah makanya pasal ini juga salah satu yang harus kita kritik. Yang terjadi dalam praktek memang seperti itu dan itu yang salah. Sudah sering banget dikritik tapi di jalankan terus," ungkapnya.
Karenanya, terang dia, jikalau harus melakukan aksi demonstrasi yang membutuhkan surat pemberitahuan, hal itu bisa disampaikan tanpa harus mengenaralisir menjadi sebuah surat izin.
"Kami itu, saya sama teman-teman kalau mau ada demonstrasi harus judulnya memang masih pemberitahuan tapi biasanya di lapangan kalau ditanya sama polisi, dia minta tanda buktinya tuh jadi seakan akan diperlakukan sebagai izin, nah ini yang mau dibakukan dalam RKUHP, dan ini melanggar kontitusi seharusnya," jelas dia.
Selain itu, dia juga menegaskan bahwa pembahasan RKUHP khususnya terkait dengan pasal kebebasan berpendapat akan menjadi ancaman bagi demokrasi.
"Itu ancaman demokrasi betul-betul, karena kebebasan berpendapat itu salah satu tiang utama dari demokrasi. Begitu kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi dibungkam atau dihalangi maka sebenarnya demokrasi sudah runtuh. Intinya sebenarnya disitu," tandasnya.
Jokowi Buat Kebijakan Hanya untuk Kesenangan
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai Presiden Joko Widodo cenderung membuat kebijakan hanya untuk kesenangan, bukan untuk kebutuhan.
Menurut Bivitri, kegiatan relawan Jokowi bertajuk 'Nusantara Bersatu' yang digelar di Gelora Bung Karno (GBK) pekan lalu merupakan hal yang tidak etis.
"Acara relawan Nusantara Bersatu yang diadakan di Gelora Bung Karno akhir November lalu juga tidak etis," ucap Bivitri dalam diskusi publik Ngopi Dari Sebrang Istana dengan tajuk 'Menelisik Zona Nyaman Jokowi' di Jakarta Pusat, Minggu (4/12/2022).
Dosen STIH Jentera itu menyarankan, seharusnya Jokowi bukan membicarakan sosok calon pemimpin di masa mendatang, tetapi lebih membahas nilai atau etika yang harus dilakukan di sebuah negara demokrasi.
“Kenyamanan saat ini sedang dipelihara betul dari segala aspek,” ujar Bivitri.
Bivitri pun menyayangkan sistem presidensial yang mempersulit ruang kritis.
"Menyatunya peran kepala pemerintahan dan kepala negara membuat fokus utama ada di sosok, bukan partai politik," kata dia.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa mengamini hal tersebut.
Menurut Teguh, publik tidak dapat membedakan Jokowi berbicara dengan kapasitas sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan.
Selain itu, bagi dia, hal utama bukanlah kenyamanan Jokowi sebagai pemimpin, tapi kenyamanan rakyat Indonesia.
“Pemimpin itu memang ditakdirkan untuk tidak pernah merasa nyaman. Paling gelisah semestinya. Dia hanya nyaman ketika orang yang dia pimpin sudah nyaman,” tegasnya. (rpi/ebs/muu)
Load more