Jakarta - Lanjutan sidang dengan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali.
Kehadiran saksi Ahli dalam lanjutan persidangan perkara pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) tersebut guna menjelaskan alasan logis seorang korban kekerasan seksual yang tidak berani melapor
Menurut Mahrus Ali, ada sejumlah faktor yang bisa membuat korban kekerasan seksual tidak sanggup melapor dan melakukan visum.
Salah satunya adalah terkait budaya Indonesia, yang menganut patriarki. Menurutnya, jika wanita selalu diposisikan sebagai nomor dua dalam budaya masyarakat tanah air.
Hal itu yang dalam beberapa kasus membuat korban menjadi enggan membuat laporan dugaan kekerasan seksual.
"Nah, faktor yang lain ada banyak faktor kenapa korban itu justru tidak melapor. Faktornya apa? Budaya patriarki di negara berkembang bisa saja menyebutkan bahwa budaya patriarki bahwa yang berkuasa adalah laki-laki, perempuan itu selalu menjadi nomor dua," ujar Mahrus di PN Jakarta Selatan, Kamis (22/12/2022).
Mahrus melanjutkan dengan mengambil contoh kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Jawa Timur, ketika seorang ayah memperkosa anaknya hingga melahirkan yang terungkap di persidangan.
Dia menegaskan pihak keluarga mengakui tidak mau melaporkan peristiwa tersebut karena aib, sehingga termasuk victimology.
"Jadi, artinya tidak semua korban kekerasan seksual itu punya keberanian untuk melapor.” tegas Mahrus.
“Artinya apa betul kalau tidak ada visum itu kemudian itu menyulitkan pembuktian, tapi tidak menyatakan kalau kejahatan tidak terjadi, karena apa? Karena banyak sekali alat bukti yang bisa diarahkan, apa? Psikologi bisa menjelaskan itu," sambungnya.
Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali (tangkapan layar)
Sebelumnya, Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mahrus Ali menjelaskan sejumlah faktor yang membuat korban kekerasan seksual tidak sanggup melapor dan melakukan visum.
"Bisa saja menunjukkan korban kekerasan seksual saat melapor, dia akan mengalami viktimisasi sekunder atas perlakuan yang tidak senonoh.” ujar dia di PN Jaksel, Kamis (22/12/2022).
“Misalnya, yang tidak enak dari banyak aktor dari sistem peradilan pidana. Makanya maaf saya agak vulgar, dalam proses misalnya saudara itu berapa kali diperkosa? lima kali, Pak," sambungnya.
Mahrus menjelaskan pertanyaan tersebut akan menyudutkan korban secara terus-menerus. Sebab, ada kalanya pertanyaan itu sifatnya menjadikan korban merasa tidak nyaman, bahkan membuatnya enggan lapor.
"Kalau lima kali itu bukan perkosaan, yang pertama perkosaan, tapi yang kedua kelima suka sama suka, saudara menikmati nggak? Itu pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjadikan korban menjadi korban kedua kali karena pertanyaan yang tidak ramah," jelasnya. (put/Mzn)
Load more