Jakarta, tvOnenews.com - Larangan penjualan rokok batangan memerlukan evaluasi lebih lanjut terkait penekanannya atau pantauan yang berkelanjutan terhadap dampaknya di masyarakat.
Hal itu disampaikan langsung oleh Konsultan Hematologi-Ontologi Prof Zubairi Djoerban.
“Jadi maksudnya bagaimana? Dilarang menjual rokok batangan tetapi maksudnya kalau beli banyak atau packing boleh begitu?” kata Zubairi usai konferensi pers HIV/AIDS YKIS 2022 di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Menanggapihal itu Zubairi meminta pemerintah agar mempertegas maksud dari larangan tersebut utamanya siapa yang menjadi target sasaran dalam masyarakat.
Termasuk evaluasi karena tujuan sebenarnya adalah agar dapat mengetahui program tersebut bisa berhasil mengurangi prevalensi konsumsi rokok khususnya pada kelompok miskin dan anak-anak atau tidak.
"Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kepentingan dari setiap pihak. Meski dalam pandangan kesehatan rokok lebih banyak memberikan dampak buruk pada masyarakat, misalnya seperti mempermudah terkena stroke dan memicu kanker, aspek lain juga harus diperhatikan agar program menjadi efektif dan tidak merugikan salah satu pihak," tuturnya.
Ia memberikan contoh kebijakan yang ideal adalah Selandia Baru, di mana pemerintahnya membuat aturan pelarangan merokok pada usia tertentu, yang jika dilanggar bisa dikatakan melanggar hukum.
Namun menurutnya kebijakan itu akan sulit diterapkan di Indonesia, karena masih banyak sekali anak di usia muda yang sudah merokok.
Jumlah tersebut tercatat dalam data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) setiap tahunnya yang disusun oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Kebijakan tersebut juga sulit dilakukan karena banyak pertimbangan kepentingan terutama sisi industri.
"Kalau kita jadi presiden mungkin mudah, cara seperti itu banyak sekali (bisa dilakukan). Tetapi kita juga harus mengayomi kepentingan umum,” kata pakar kesehatan itu.
Menteri Kesehatan periode 2012-2014 Nafsiah Mboi menambahkan, jika wacana pelarangan penjualan rokok batangan utamanya pada anak-anak, sudah diperbincangkan sejak dirinya menjabat beberapa waktu lalu.
Sayangnya, penerapan di lapangannya masih dapat dikatakan buruk walaupun semua kebijakan serta program yang dirancang pemerintah memiliki kualitas dan tujuan yang baik.
"Yang kita tahu dari data terakhir itu prevalensi perokok paling banyak pada orang miskin dan remaja. Mereka bisa membeli dengan harga Rp1.000," kata Nafsiah.(muu)
Load more