NTT, tvOnenews.com - Skolastio Mogensen alias Tio akan berusia 6 tahun pada 10 Februari 2023 mendatang. Tapi berat badannya hanya 4 kilo. Bobot yang seharusnya umum untuk bayi setahun.
Gizi buruk yang dialami anak kelima pasangan Hilarius Nggoro (46) dan Emerensiana Ndese (45) ini diduga penyebab Tio lumpuh. Jangankan duduk merangkak pun Tio tak mampu.
Kondisi yang tidak mampu menopang tubuh kerdilnya membuat Tio tetap berada pada gendongan ibunya. Saat kakak Tio pulang dari sekolah, Emerensiana baru bisa melakukan aktivitas keluar rumah termasuk rutinitas pergi menimba air di Wae Taka yang ditempuh 40 menit berjalan kaki.
Pola asuh yang tidak standar memicu wasting pada Tio di mana berat badannya menurun seiring waktu hingga total berat badannya jauh di bawah standar kurva pertumbuhan atau berat badan.
Bagaimana tidak begitu, sang ibu hanya menyuapi Tio dengan bubur bercampur kuah sayur.
"Dia tidak bisa kunyah, walaupun sudah lambah tumbuh gigi. Bubur yang disuap tidak langsung langsung ditelan dan selalu buang makanya lemah begini pak," tutur Emirensiana, ditemui di rumahnya di Wae Rana, Kelurahan Rongga Koe, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur Nusa Tenggara Timur, Minggu (15/1/2023).
"Anak saya ini belum bisa duduk atau merangkak. Apalagi untuk jalan," kata Emirensiana melanjutkan.
Marasmus
Ciri Marasmus begitu nampak pada tubuh Tio seperti perut membuncit dengan tulang rusuk menonjol serta otot kaki dan tangan yang lembek.
"Berat badan normal untuk anak 6 tahun itu, 19 sampai 20 kilogram. Tapi anak ini hanya 4 kilogram. Demikian juga tinggi badan seusia anak ini normalnya 116 centimeter tapi dia hanya 100 centimeter," ujar Kepala Puskesmas Wae Lengga, Wolfri Yosep Daiman kepada tvOnenews.
"Anak ini menderita marasmus atau gizi buruk," lanjut Wolfri.
Tio terlahir normal meski hanya dengan bantuan dukun. Kondisi Tio tambah parah lantaran sang ibu tak pernah membawa anaknya ke Posyandu.
Tio merupakan satu dari 3 penderita gizi buruk pada wilayah pelayanan Puskesmas Wae Lengga yang diprioritaskan dan mesti menjalani pemeriksaan klinis segera.
"Di wilayah pelayanan kami ada 3 anak yang gizi buruk. Tapi Tio yang terparah. Di puskesmas kami sudah ada dokter umum sehingga dalam waktu dekat kami segera bawa Tio ini untuk diperiksa. Kami juga bekerja sama dengan pihak kelurahan, memperjuangkan agar keluarga Tio ini mendapat bantuan BPJS," kata Wolfri.
Merawat anak seorang diri
Emirensiana dan suaminya tinggal berjauhan sehingga Emerensiana mengurus Tio seorang diri. Suami Emerensiana, Hilarius Nggoro sudah tiga tahun bekerja sebagai supir di Papua.
Keterbatasan ekonomi tidak lantas menyurutkan semangat Emerensiana merawat buah hatinya yang lumpuh dan gizi buruk. Dengan kondisi ekonomi yang terseok-seok, Emerensiana harus membiayai pendidikan empat anaknya yang sekolah.
Anak sulung sedang kuliah di Yogjakarta, 2 anaknya SMA di Borong. Sedangkan anak keempat yang menemani Emerensiana masih kelas tiga SD bernama Cahyo.
"Kalau mengharapkan hasil dari kebun, tidak cukup untuk hidup. Apalagi untuk biaya anak yang sudah kuliah. Makanya suami terpaksa merantau. Dulu sempat rantau jadi buruh sawit di Malaysia. Sekarang jadi sopir di Papua," tutur Emirensiana.
378 anak gizi buruk di Manggarai Timur
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur, pada tahun 2021 tercatat 352 anak menderita gizi buruk. Selanjutnya, pada tahun 2022 terjadi peningkatan menjadi 378 anak.
Meski terjadi peningkatan angka gizi buruk, Kepala Dinas Kesehatan dr Surip Tintin membantah adanya peningkatan kasus tersebut.
"Kasus gizi buruk kami tidak meningkat. Stunting kita juga turun," kata Surip Tintin ketika dihubungi terpisah.
Selama ini, upaya penanggulangan kasus gizi buruk terus dilakukan dengan melibatkan 12 organisasi perangkat daerah.
Dijelaskan Kadis Surip, penanggulangan stunting dan gizi buruk oleh Dinas Kesehatan mulai dari persiapan calon ibu seperti remaja putri dan calon pengantin, lalu ibu hamil, ibu bersalin, neonatus (bayi usia di bawah 28 hari), baduta (bayi di bawah dua tahun), dan balita apras (anak pra sekolah).
Dinas Kesehatan mempersiapkan calon ibu melalui penyuluhan kesehatan reproduksi untuk remaja putri di sekolah-sekolah, membagikan obat cacing dan tablet tambah darah, serta imunisasi.
Selanjutnya, Dinkes juga bekerja sama dengan gereja-gereja untuk membina calon pengantin sambil memberikan imunisasi di gereja.
Upaya selanjutnya, terhadap ibu hamil melalui Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), kolaborasi lintas sektor untuk penanganan ibu hamil resiko tinggi dan kekurangan energi kronis (KEK), dan pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil KEK.
Selanjutnya, Dinkes mewajibkan ibu-ibu untuk melakukan persalinan di fasilitas kesehatan dengan bantuan tenaga kesehatan. Dinkes bertanggungjawab untuk melakukan pemantauan selama 7 hari sebelum sampai 2 hari setelah persalinan (7H2), serta merujuk ibu bersalin yang memiliki resiko.
Dinkes juga masih melakukan pemantauan terhadap bayi neonatus dan ibu nifas. Bayi neonatus harus mendapatkan ASI eksklusif dan ibu nifas perlu menjalani program KB pasca persalinan.
Selanjutnya untuk baduta stunting mendapatkan makanan tambahan berbahan pangan lokal, sedangkan untuk balita gizi buruk, selain makanan tambahan, juga mendapatkan kunjungan rumah.
"Itu semua di atas rangkaian program dan kegiatan untuk penanggulangan gizi buruk dan stunting," jelas Tintin.
Meski demikian, ia juga mengaku penanganan gizi buruk di daerah itu menghadapi sejumlah kendala, antara lain koordinasi lintas sektoral yang belum optimal dan keterbatasan dana, kemiskinan dan minimnya pengetahuan orangtua.
Ia juga mengungkap makanan tambahan yang disalurkan pemerintah tidak hanya dinikmati oleh sasaran, tetapi justru lebih banyak dikonsumsi oleh anggota keluarga lainnya. Untuk mencegahnya, pola pemberian makanan tambahan diubah dari bahan mentah ke bahan jadi.
"Dimasak baru berikan ke sasaran. Jangan bagi bahan mentah karena banyak yang makan nanti. Jadi tidak hanya sasaran yang konsumsi," katanya.(jku/muu)
Load more