Oleh: Dr Taufan Hunneman, Dosen Universitas Catur Insan Cendekia Cirebon
Jakarta - Para pemimpin pemerintahan dan bisnis pertengahan Januari lalu, telah berkumpul lagi di Davos (Swiss) dalam Forum Ekonomi Dunia (Wordl Economic Forum atau WEF Davos). Ajang tahunan ini dibayangi perang di Ukraina, krisis iklim, dan perdagangan global yang kacau.
Dalam sebah diskusi di WEF Davos, Arifin Tasrif kembali menegaskan, soal komitmen Pemerintah Indonesia dalam mencapai target membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celcius, sedapat mungkin 1,5 derajat celcius, dibandingkan dengan tingkat sebelum masa industri, sesuai dengan Paris Agreement 2015.
Arifin kemudian menjelaskan, bahwa kemampuan setiap negara berbeda dalam mencapai target yang net zero emission (netralitas karbon), namun ditegaskan Pemerintah Indonesia tetap konsisten dalam ikhtiar.
Fase paling sulit adalah implementasi konkret menuju transisi energi, yaitu memastikan keterjangkauan energi oleh rakyat, aksesibilitas dan dekarbonisasi yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.
Dalam kondisi demikian, diperlukan komitmen tinggi dan semangat kolaborasi yang kuat, sehingga tidak ada masyarakat yang tertinggal di belakang, terutama yang masih bergantung kepada energi fosil. Bumi di mana kita tinggal telah menyediakan begitu banyak sumber EBT (energi baru dan terbarukan), tanggung jawab kita adalah mengambil manfaat dari sumber daya yang ada untuk kemanfaatan bagi rakyat.
Mitigasi Krisis Iklim
Paparan Menteri ESDM selaras dengan isu yang berkembang di Forum Davos 2023, berbasis data The Global Risks Report 2023, yang menjadi sumber utama data risiko global Forum Ekonomi Dunia (WEF), telah melaporkan isu-isu kenaikan biaya hidup, pertumbuhan ekonomi yang lambat, dan pasokan makanan dan energi global yang ketat menempati peringkat sebagai risiko jangka pendek yang mendesak.
Sementara ancaman jangka panjang terutama berpusat pada krisis ekologis. Risiko jangka panjang yang paling mendesak selama dekade mendatang adalah kegagalan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, peristiwa cuaca ekstrem, dan ancaman keruntuhan keanekaragaman hayati.
Seperti telah diprediksi para sarjana dan temuan studi lembaga-lembaga think tank global, dunia setuju kini berada dalam era polikrisis. Laporan WEF 2023 mencatat banyak peringatan tentang risiko kolektif yang dapat dihadapi umat manusia dalam dekade mendatang.
Laporan itu juga menggambarkan dimanika geopolitik akibat dari ketegangan Amerika Serikat dan China maupun perang Rusia-Ukraina, mengancam melemahkan hubungan internasional untuk mengatasi perubahan iklim dan pembangunan global ketika mereka paling dibutuhkan.
Kerja sama global dan multilateral harus menjadi “pagar” untuk meningkatkan kemampuan kolektif mencegah dan menanggapi krisis lintas batas yang muncul untuk mengatasi risiko. Memanfaatkan interkoneksitas risiko global dapat memperluas dampak kegiatan mitigasi risiko dan menopang ketahanan yang akan memiliki efek multiplier terhadap risiko terkait.
Dunia harus berkolaborasi lebih efektif dalam mitigasi dan adaptasi iklim menghindari “kerusakan ekologis” dan pemanasan global yang berkelanjutan. Dalam sejarah modern, umat manusia telah menghindari beberapa depresi besar, merancang vaksin untuk menghentikan penyakit dan menghindari perang nuklir. Inovasi juga memungkinkan kita menguasai krisis ekologi dan perubahan iklim di masa depan.
Komitmen Transisi Energi
Sejalan dengan paparan Menteri ESDM di Davos, Indonesia dianggap mampu mengendalikan emisi di bawah skenario yang ditetapkan. Ke depan, upaya pengendalian emisi perlu terus diperkuat ditingkat lokal ataupun global, utamanya pada program strategis tranisis energi.
Berdasar hasil inventarisasi efek gas rumah kaca (GRK) nasional, tampak sudah ada beberapa perbaikan komitmen iklim dari pemerintah. Antara lain ditunjukkan dengan sejumlah upaya dan aksi nyata dalam mengatasi krisis iklim, berdasarkan parameter di tingkat global sepanjang tahun 2022.
Upaya itu bisa dilihat pada pembaruan target dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC), serta komitmen transisi energi yang didorong dalam Forum G20 akhir tahun lalu. Indonesia memperbarui NDC, dengan cara meningkatkan target penurunan emisi menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan 43,2 persen dengan dukungan internasional.
Penyebab peningkatan suhu tahunan Bumi adalah adanya konsentrasi GRK yang kian tinggi. Tigas gas paling berpengaruh terhadap pemanasan global, masing-masing karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O). Selama manusia mengeluarkan emisi GRK, pemanasan global akan terjadi, sebagaimana sudah dibahas dalam WEF Davos.
Pemanasan global hanya bisa dimitigasi melalui program net zero emission (NZE), dan Indonesia mematok target NZE pada tahun 2060, atau lebih cepat. Saat berbicara di Davos, Menteri ESDM Arifin Tasrif, menyampaikan bahwa NZE hanya bisa dicapai melalui kemajuan teknologi, mendorong inovasi, dan perbaikan secara konstan. Dan itu butuh komitmen kuat dalam transisi energi.
Dalam hal kemajuan teknologi, Arifin mencontohkan, teknologi canggih dibutuhkan untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan.
"Misalnya, sistem teknologi penyimpanan, yang berkembang pesat di sektor pembangkit tenaga listrik dan transportasi," kata Arifin. Lebih lanjut Arifin menyampaikan, dalam peta jalan NZE Indonesia, lebih dari 56 Giga Watt (GW) Battery Energy Storage System (BESS) dan ratusan juta kendaraan listrik akan beroperasi tahun 2060.
Kontribusi Pertamina
Menurut Dirut PT Pertamina Nicke Widyawati dalam diskusi di Davos, Pertamina dalam posisi leading sector transisi energi di Indonesia dan memastikan seluruh segmen masyarakat dapat menerima manfaatnya. Hal tersebut juga merupakan komitmen global dan menjadi bagian dari rekomendasi kebijakan dari Business 20-Task Force Energy, Sustainability, and Climate (B20-TF ESC) dalam gelaran G20 November 2022 di Bali.
B20-TF ESC telah melahirkan enam rekomendasi kebijakan untuk mempercepat transisi energi yang mengakomodasi tantangan, peluang, dan risiko yang terkait peningkatan transisi yang adil dan teratur di negara berkembang. Menurut Nicke, secara prinsip tidak ada yang tertinggal dalam transisi energi.
Pertamina (Persero) bertekad untuk terus berperan secara signifikan dalam mengembangkan ekosistem baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia, dengan mengoptimalkan sumber daya di dalam negeri, terutama nikel.
“Kami yakin dengan cadangan nikel di Indonesia, kami bisa memproduksi baterai dan meningkatkan penetrasi EV,” ujar Nicke Widyawati, di Paviliun Indonesia, WEF Davos.
Menurut Nicke, Pertamina memiliki infrastruktur yang bisa dioptimalkan untuk penetrasi EV serta memiliki data segmentasi karakteristik, mobilitas, dan kemampuan membeli. Selain itu, Pertamina juga memiliki lebih dari 7.400 SPBU, 6.100 Pertashop, dan 63.000 outlet LPG. Pertamina juga siap berkolaborasi dengan pihak lain dari berbagai negara untuk mengembangkan baterai EV dan mengoptimalkan infrastruktur yang dimiliki.
Dalam acara yang bertema “Indonesia Economic Development Through Downstream Industries and Inclusive Partnership”, Nicke mengungkap rekomendasi kebijakan tersebut antara lain percepatan penggunaan energi berkelanjutan, memastikan transisi yang adil dan terjangkau, serta meningkatkan ketahanan energi. Untuk mempercepat penggunaan energi berkelanjutan, Pertamina menargetkan efisiensi energi, dengan elektrifikasi menjadi faktor penentu keberhasilan.
Upaya lain dilakukan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), yang menjadi garda terdepan untuk merealisasikan komitmen target bauran energi baru terbarukan 23% pada 2025 dan 24,2% pada 2030. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 mencatat bahwa pembangkit listrik panas bumi, yang dapat menghasilkan energi dalam jumlah besar dan ramah lingkungan, menjadi kunci pencapaian target EBT 23% pada 2025 dan 24,2% pada 2030. Hingga 2021, bauran energi EBT baru sebesar 11,5 persen.
Berdasarkan RUPTL 2021-2030, PLN memproyeksikan akan ada tambahan pembangkit EBT yang terakumulasi sebesar 10,6 GW hingga 2025 dan 18,8 GW hingga 2029. Peningkatan bauran energi EBT ini pun merupakan bagian dari komitmen menuju net zero emission pada 2060. Sebagai bentuk komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menuju net zero emission pada 2060, pembangkit listrik tenaga panas bumi menjadi salah satu yang mendominasi sistem tenaga listrik hingga 2030 mendatang. (ebs)
Load more