Harga terbesar yang mesti kita bayar, hingga sekarang, terjadi keterbelahan masyarakat. Sungguh memprihatinkan julukan yang tak beradab pada saudara sebangsa kita sendiri: "Cebong" versus "Kampret" atau "Kadrun".
Pada Pemilu itu masyarakat memparodikan Pemilu adalah babak Pers VS Pers. Keterbelahan pers digambarkan sangat ironis di mata publik. Anda harus nonton dua Stasiun TV sekaligus untuk mendapatkan liputan cover both sides. Ini tidak sepantasnya terjadi justru ketika reformasi bangsa pada tahun 1998 menghadiahi kemerdekaan pers kepada wartawan dan bangsa.
Seluruh masyarakat pers Indonesia telah menyerukan hal sama pada Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang dihadiri Presiden Jokowi, 9 Februari 2023 di Medan, Sumatera Utara.
Seruan itu tertuang dalam lima point. Salah satu butirnya menyatakan pers berkomitmen peristiwa dalam Pemilu (Pemilihan Umum) sebelumnya yang menyebabkan keterbelahan bangsa tidak terulang kembali, sehingga pers tidak terseret menjadi buzzer salah satu pihak.
Mungkin, saatnya kini para wartawan memeriksa diri kembali, menggeledah jauh sampai sanubari mengapa saya jadi wartawan? Pertanyaan itu saya kutip dari almarhum Rosihan Anwar, begawan pers Indonesia. Ketika memimpin Karya Latihan Wartawan (KLW, semacam diklat PWI) pertanyaan itu selalu disodorkan Pak Rosihan harus diuraikan calon peserta KLW dalam bentuk esai. Sebelum peserta diputuskan memenuhi syarat mengikuti diklat PWI itu.
Pertanyaan itu semakin relevan dan mendesak diajukan sekarang.(chm)
Load more