Foto tersebut kemudian dipajang Pak Rahmat di Museum dan Galeri satwa liar miliknya di Medan, yang diresmikan pada Mei 1999. Di atas foto tersebut, Pak Rahmat menulis kalimat bersayap, “Contoh nyata, tiga Presiden mau berpanas-panas meluangkan waktu untuk kepentingan satwa, bagaimana dengan negara kita?”
Tulisan di foto kenangan itu dapat dimaknai bahwa di Amerika Serikat, negara demokrasi, presiden dan mantan presiden dapat bersama untuk tujuan sama, cair, dan tidak canggung. Sedangkan di sini, suasananya sering sekali kontras.
“Presiden dan mantan presiden untuk duduk bersama membicarakan nasib dan masa depan bangsa, sulit sekali tercipta,” tulis Rahmat.
Ganti Presiden dan partai berkuasa, menurut pengamatannya, ganti pula kebijakan.
“Jika dari Presiden sebelumnya, ada yang baik, seharusnya diteruskan. Jika kurang baik, ya diperbaiki. Ada hal-hal yang tidak perlu karena waktunya tidak tepat atau keuangan negara tidak memungkinkan, ya dihentikan. Ada masukan atau inovasi baru yang baik, dari kawan atau dari partai lain, diterima untuk kemajuan. Situasi yang terjadi, kita selalu kembali dari awal, kita sudah kuliah, kembali lagi ke sekolah dasar,” kata Pak Rahmat.
Menurutnya, akibat perbedaan yang tajam, sangat sulit membicarakan masa depan dan nasib bangsa ini secara bersama.
“Sudahilah, mungkin kita arogan karena merasa kuat, kita egois karena merasa hebat, kita sombong karena merasa pandai. Itu semua membawa bencana, percayalah. Bukan hari ini, di hari tua nanti dan kita lihat nanti keturunan dan gerenasi nanti. Kita menyesal, tapi sudah terlambat,” kata peraih lebih dari 800 penghargaan dari luar dan negeri ini.
“Hanya dengan kebersamaan kita dapat mengatasi berbagai masalah dan mengejar ketertinggalan dari bangsa dan negara lain, sekaligus mensejahterakan seluruh bangsa Indonesia,” katanya, Sabtu (23 Juni 2023) di Medan.
Load more