Meski tidak lagi aktif dalam politik praktis, ia tetap mengamati perilaku para pemimpin dan politisi, di antaranya banyak pejabat di negara ini tidak konsisten dengan kata-kata, tugas, dan tanggung jawabnya. Menurutnya, Indonesia pun kini tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia, lahan basah peredaran narkoba, kredit fiktif, dan manipulasi pajak.
“Mari kita mengubah sikap. Jangan takabur dan sombong, ingat tanggung jawab dan sumpah jabatan. Sadarlah setinggi dan sekuat apa pun posisi kita, jika Tuhan berkeinginan pasti jatuh. Sudah banyak contoh nyata yang telah ditunjukkan langsung pada kita,” kata Rahmat.
Kini, Pak Rahmat mengisi waktu tua sebagai filantropis, membantu orang-orang miskin. Ini membahagiakannya.
Waktu terus bergerak. Perbincangan semakin menarik. Namun saya harus pamit. Pak Rahmat mengantar saya ke mobil. Pagar rumah dengan logo bendera Turki bertulisan “Konsul Jenderal Kehormatan Turki” menghilang dalam pandangan.
Di antara kesibukan lalu lintas di kawasan Selayang, Medan, terdengar Mu’azzin mengumandangkan Adzan Dzuhur mengajak mendirikan sholat dan meraih kemenangan. Mu’azzin tidak mempersoalkan berapa orang ikut sholat berjamaah. Ia mengajak.
Saya teringat perbincangan beberapa menit lalu. Pak Rahmat menyerukan kebersamaan untuk bangsa, tidak menghitung berapa orang ikut dalam barisannya. Seruan itu ditulisnya dalam kartu seukuran postcard, yang dibagikannya kepada setiap orang yang ditemuinya.
Bagian akhir seruannya, Pak Rahmat berdoa,“Ya Allah, selamatkan bangsa kami, luruskanlah hati dan pikiran kami, agar tidak terjadi perpecahan di antara kami dan tidak menjadi bangsa yang tersesat.”
Saya membaca lagi seruan itu sebelum masuk ke masjid. Demikian catatan dari seorang Asro Kamal Rokan.(chm)
Load more