Tak ada yang ingin merawat kota Jakarta karena tak ada yang merasa memiliki. Semua hanya merasa singgah saja. Sebagai tempat persinggahan, semua dianggap “sementara”. Tanpa rasa kepemilikan, yang ada adalah penjarahan ruang ruang kolektif.
Penyair Subagio Sastrowardojo menyinggung warga yang dipaksa menjadi terasing dalam sajak Jakartaku Jakarta:
“Adakah nasib yang lebih sengsara dari terasing di kota, pengembara kembali ingin jadi budak dan menyusu pada bunda. Yatim piatu tanpa menyapa telah menyerahkan badannya pada siapa yang tak beranak tak berbapak.”
Lebih celaka, kota seperti tumbuh tanpa pemandu, rencana induk, desain besar tata kota yang modern. Suatu kali mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kini calon presiden) mengeluhkan bagaimana perencanaan transportasi publik di Jakarta ternyata antara satu moda dengan moda lainnya tak saling terhubung. Kereta listrik, busway, MRT hingga LRT ternyata infrastrukturnya tak terintegrasi, halte ataupun stasiun pemberhentiannya mengambil rute dan jalurnya sendiri sendiri. Akibatnya, warga kota jadi malas menggunakan transportasi publik karena waktu tempuhnya jadi lebih lama, mahal dan tidak nyaman.
Pada saat Anies sebenarnya kita pernah punya harapan mengalami kota dengan cara lain: berjalan kaki dan bersepeda. Trotoar dibuat sangat lebar. Berjalan kakilah di sepanjang Jalan Cikini saat ini setelah pedestrian dibuat sangat lapang. Kita menikmati kelampauan ruko ruko peninggalan Belanda dengan kaca-kaca jendela besar. Moda mobil di sini tak diistimewakan. Ia harus berbagi dengan warga lainnya yang ingin menikmati kota dengan bersepeda atau berjalan. Dengan ini sejatinya, kota menjadi milik siapa saja. Bukankah dengan ini demokrasi, ruang publik tercipta?
Ecep Suwardaniyasa Muslimin.
Load more