Masa lalu seperti tak pernah silam di Jalan Braga. Pagi itu, saat mengikuti race Pocari Sweat 2023 di Bandung pekan lalu, sepanjang rute lari yang cukup steril dan sejuk saya menyesap nikmatnya menjadi warga kota. Saya seperti melihat berbagai zaman hidup bersamaan, serentak. Yang arkaik, modern, kontemporer dirayakan bersama sama pada sepotong jalan.
Deretan ruko ruko cantik bergaya klasik indies berbaur dengan ruko baru yang terawat, dengan bangku bangku ditata menghadap jalan raya; trotoar-trotoar lebar, rata dan bersih penuh orang lalu lalang berjalan kaki; bangku bangku taman yang penuh dengan warga kota yang bercengkrama (dari pakaian yang dikenakan terlihat berasal dari berbagai lapisan); pedagang lukisan mooi indie yang menjadikan pedestrian sebagai galeri publik berebut menarik perhatian.
Melintas di depan Societeit Concordia (sekarang Gedung Merdeka) yang pernah menjadi saksi bisu perjuangan bangsa bangsa kulit berwarna melawan kolonialisme atau di sisi Lapangan Gasibu saya seperti tengah dejavu dengan kota kota tua lain di Eropa. Pada selasar lebar Champs Elysees di Paris, Las Ramblas yang sangat populer di Barcelona atau Taman Wenceslas di Praha yang jalanannya bukan hanya untuk orang melintas sesaat, tetapi juga untuk bergaul, kongkow, melihat pertunjukan, saling bertemu, berinteraksi hingga berolahraga.
(Kawasan Braga, Bandung, Jawa Barat)
Aroma juga ikut mendefinisikan setiap sudut jalan itu. Barangkali itu yang membuat saya selalu ingin mengulanginya lagi. Konon aroma paling memancing memori purba manusia. Bau melengkapi ingatan oleh pancaindra.
Adalah Victoria Henshaw secara khusus meriset ihwal peta bau di sejumlah kota lewat buku Urban Smellscapes, Understanding and Designing City of Smell Environments (2013). Dalam penelitian Victoria—salah satunya menggunakan olfactometer, alat khusus pendeteksi bau, untuk melihat bagaimana kota kota di dunia mendefinisikan dirinya, salah satunya lewat aroma kotanya. Bagaimana bau khas dari aktivitas warga lokal menyempurnakan memori, ingatan, wawasan tentang kehidupan kota itu.
Singapura, misalnya ternyata baunya secara umum didominasi oleh aroma alami karena banyaknya ruang terbuka hijau dan hutan kota. Namun, di sejumlah distrik di negara jiran itu, aroma kuliner menguasai. Aroma kari India, masakan minang hingga makanan China mendominasi bau bauan di ruang publik. Yang dilestarikan di Jepang tidak hanya situs wisatanya, tetapi juga Stasiun Tsuruhashi di Osaka yang terkenal dengan aroma daging panggangnya.
Dari sepuluh kali digelar, lima kali saya mengikuti lomba lari jalan raya ini: dua kali full marathon dan tiga kali half marathon. Agaknya memori saya seperti ingin mengulang membaui aroma aroma kota. Wangi ruap kopi yang baru disangrai di deretan kedai kopi legendaris, harum roti bertabur keju saat baru diangkat dari pemanggang ketika melewati toko roti Sumber Hidangan hingga aroma aneka makanan dari pedagang kaki lima di sepanjang pedestrian Bandung.
(Kawasan Braga, Bandung, Jawa Barat)
Saya seperti menziarahi apa yang dilakukan penyair besar Prancis Charles Baudelaire saat menemukan dirinya di tengah kerumunan warga kota di Paris pada abad 19. Baudelaire mengenalkan istilah flaneur, seorang pejalan yang sangat antusias pada kehidupan kota.
Seorang flaneur berjalan seperti tanpa tujuan. Ia hanya berjalan kaki keliling sudut sudut kota. Kehadirannya hanya untuk mengamati, mencecap, menikmati irama kehidupan kota. Bagi seorang flaneur, kehidupan kota adalah kode kode yang harus dipecahkan. Ada makna pada setiap sudut jalan, pada wajah wajah warga yang ditemui, pada aktivitas urban sehari hari harinya.
Jika fleneur hanya dengan berjalan kaki, saya memilih berlari. Dengan bergerak sedikit lebih cepat dari berjalan kaki saya tetap masih bisa menikmati denyut kota. Walhasil. sepanjang race lalu, saya menjadi pengembara dan pengamat kota, mereguk kehidupan urban dengan cara bergerak, mengutip Baudelaire, menjadikan “tanda-tanda jalan sebagai ruang tamunya dan kios-kios koran sebagai perpustakaan.”
Maka, saya pun melihat jiwa kota Bandung cukup hanya dari selasarnya. Melihat warganya menikmati kota dengan berjalan kaki, berlari atau bersepeda setiap pagi. Mereka hidup berinteraksi, memiliki ruang ruang bersama di taman taman kota dan bangunan bangunan tua yang terawat baik. Kehidupan kota yang bergairah, hidup, kreatif membuat Bandung tetap jadi magnet bagi pelancong lokal maupun mancanegara.
Jika dulu orang datang menikmati arcade, lorong pedestrian di Braga karena adanya liberalisme, ketika Belanda mengajak pemodal raksasa dari seluruh dunia untuk membuka investasi perkebunan teh di seantero Jawa Barat pada abad ke-18, kini ribuan orang datang ke Bandung karena aneka ritus budaya populer yang kerap digelar; dari industri kreatif hingga lomba lari.
Tak ayal, pada minggu 30 Juli 2023 lalu, setiap sudut kota Bandung penuh dengan pelari dan pesohor yang tumplek di jalanannya yang sejuk karena rimbun oleh pepohonan. Hotel-hotel---bahkan yang jauh dari pusat kota–kamar kamarnya penuh dipesan pengunjung sejak beberapa hari sebelumnya. Usai lomba, ribuan orang berseragam biru, warna anthem ajang lari itu, merangsek restoran, distro, factory outlet di jalan Riau.
(Half Marathon di Bandung Jawa Barat, 30 Juli 2023)
Kehidupan ala flaneur yang dialami di Bandung, bagi saya tak bisa dialami di Jakarta. Saya yang tinggal di pinggiran Jakarta, misalnya mengalami kota Jakarta hanya dari sebuah jalan tol yang “vakum” saat pagi dan petang. Seolah olah menikmati kota hanya bisa dengan mobil karena kebijakan Pemprov sangat berpihak pada moda ini.
Yang digerakkan selalu adalah moda (baca:mobil pribadi) bukan manusianya. Akibatnya, kota seperti habis dibelah belah oleh jalan tol. Melintasi tol dalam kota, di sekitar Pancoran kita menyaksikan Monumen Dirgantara yang dibiarkan kesepian tanpa aura. Ia kini menyembul wagu di antara jalan layang yang merangsek hingga ke bibir monumen.
Jalan tol yang membelah belah Jakarta tak membawa pengalaman apapun. Ia adalah ruang kosong, panjang tapi sepi interaksi, tak ada pertemuan, tak membentuk modal sosial apapun. Akibatnya, kota tak bisa dinikmati warganya. Kota mengasingkan warga-warganya.
Berdirilah di Jalan Sudirman-Thamrin yang penuh dengan jejalan bangunan bangunan jangkung, persegi empat, berdinding kaca yang seragam itu, kita seperti menikmati sebuah metropolitan tanpa masa lalu. Kota gigantik ini seperti dibangun kemarin sore.
Lorong lorong pedestrian, arcade beratap yang semestinya tempat warga kota berjalan kaki dengan nyaman di Pasar Baru, Jatinegara atau Tanah Abang misalnya telah direbut oleh mobil dan motor. Ketika kita tengah jalan jalan sore melihat toko toko tekstil atau perangkat olahraga di Pasar Baru, misalnya, kita bisa terserempet mobil yang tiba tiba melintas kawasan yang pernah steril dari moda transportasi.
(Kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta)
Kendaraan pribadi juga parkir di bahu jalan sekenanya. Pemandangan yang juga mudah kita temui di kawasan pemukiman: warga membeli mobil tanpa menyiapkan garasinya. Walhasil, mobil diparkir begitu saja di jalan publik.
Pemilik ruko atau pedagang kaki lima juga kerap menganeksasi trotoar untuk menggelar dagangannya. Belum lagi iklan, papan reklame, baliho ikut serta berjubel di lorong pejalan kaki. Akibatnya, jalan sebagai ruang bersama pada akhirnya telah habis dikapling kapling, diperebut untuk kepentingan pribadi. Pendeknya, jika pun ada ruang publik di selasar selasar arcade itu hanya merupakan ruang sisa belaka.
Tak ada yang ingin merawat kota Jakarta karena tak ada yang merasa memiliki. Semua hanya merasa singgah saja. Sebagai tempat persinggahan, semua dianggap “sementara”. Tanpa rasa kepemilikan, yang ada adalah penjarahan ruang ruang kolektif.
Penyair Subagio Sastrowardojo menyinggung warga yang dipaksa menjadi terasing dalam sajak Jakartaku Jakarta:
“Adakah nasib yang lebih sengsara dari terasing di kota, pengembara kembali ingin jadi budak dan menyusu pada bunda. Yatim piatu tanpa menyapa telah menyerahkan badannya pada siapa yang tak beranak tak berbapak.”
Lebih celaka, kota seperti tumbuh tanpa pemandu, rencana induk, desain besar tata kota yang modern. Suatu kali mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kini calon presiden) mengeluhkan bagaimana perencanaan transportasi publik di Jakarta ternyata antara satu moda dengan moda lainnya tak saling terhubung. Kereta listrik, busway, MRT hingga LRT ternyata infrastrukturnya tak terintegrasi, halte ataupun stasiun pemberhentiannya mengambil rute dan jalurnya sendiri sendiri. Akibatnya, warga kota jadi malas menggunakan transportasi publik karena waktu tempuhnya jadi lebih lama, mahal dan tidak nyaman.
Pada saat Anies sebenarnya kita pernah punya harapan mengalami kota dengan cara lain: berjalan kaki dan bersepeda. Trotoar dibuat sangat lebar. Berjalan kakilah di sepanjang Jalan Cikini saat ini setelah pedestrian dibuat sangat lapang. Kita menikmati kelampauan ruko ruko peninggalan Belanda dengan kaca-kaca jendela besar. Moda mobil di sini tak diistimewakan. Ia harus berbagi dengan warga lainnya yang ingin menikmati kota dengan bersepeda atau berjalan. Dengan ini sejatinya, kota menjadi milik siapa saja. Bukankah dengan ini demokrasi, ruang publik tercipta?
Ecep Suwardaniyasa Muslimin.
Load more