Selain itu, jika salah satu penampil membacakan tema erotika feminin dari khazanah sastra Indonesia cukup menarik. Karya karya NH Dini, Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu cukup bisa jadi "pembanding" dan dialog bagaimana tema tema senada diolah oleh penulis tanah air.
Apapun, pembacaan tema tema erotika feminin dalam karya sastra oleh empat aktor itu perlu diapresiasi. Apalagi tema tema eksplorasi hasrat ketubuhan, ketelanjangan, seksualitas cukup "sensitif' di Indonesia.
Pada 2005 Instalasi Pink Swing Park karya Agus Suwage dan Davy Linggar yang dipamerkan dalam CP Biennale II di Museum Bank Mandiri, Jakarta pernah berurusan dengan hukum. Seniman bersama para model karya, Anjasmara dan Isabel Yahya terkena delik pasal asusila karena karya mengeksplorasi ketelanjangan (kemurnian) tubuh laki laki dan perempuan di sebuah taman bernuansa pink.
Karya Lingga Yoni dari Perupa Arahmaiani, misalnya didemo saat dipamerkan karena dianggap mencemarkan agama Islam. Sebabnya, Arahmaiani menyandingkan huruf Arab pegon dengan alat vital laki laki dan perempuan. Meski sebenarnya, ide dasar Arahmaiani bertolak dari gagasan kesuburan, keseimbangan gender laki laki dan perempuan yang ia riset dari gambar dan artefak di Candi Sukuh.
Maka Langkah untuk mengetengahkan kembali pandangan perempuan tentang hasrat, seksualitas dan ketubuhannya dalam sejumlah karya sastra Prancis penting agar perempuan bisa mengambil inspirasi dari penulis perempuan di belahan dunia lain dalam membangun dunia perempuan.
Apalagi belakangan terjadi gelombang pasang lanjutan dari feminisme di Indonesia ketika sejumlah aktivis perempuan bersama sama membangun Sekolah Pemikiran Perempuan. (bwo)
Load more