Jakarta, tvOnenews.com- Sambil bersimpuh Asmara Abigail membacakan catatan harian Anais Nin yang berkisah ketakjubannya pada anatomi lelaki yang tengah ia lukis sebagai model telanjang.
Anais Nin penulis perempuan Prancis yang sangat detail jika menggambarkan erotika. Jalinan ceritanya penuh dengan deskripsi vulgar ihwal eksplorasi raga. Penulis Prancis keturunan Catalunya ini memang dikenal sebagai penulis erotika pertama dan terbaik di Eropa.
Dengan sabar Asmara menghidupkan teks lewat kemahiran dua bahasa, Prancis dan Indonesia, membangun hasrat besar Anais pada penjelajahan tubuh, erotisme dan seksualitas satu persatu, selapis demi selapis, hingga sang lelaki yang disebutnya bertubuh sempurna, simetris, tapi sangat "dingin" itu terenggut keperjakaannya.
Ternyata bukan persetubuhan yang dihasratkan sang aku lirik, tapi kekagumannya pada bentuk phallus yang ditatapnya takjub. Kekaguman yang memancing hasrat untuk mengeksplorasi lebih jauh tak hanya lewat garis garis dalam sketsa--yang sudah berkali kali dilakukannya itu, tapi juga dalam penjelajahan pancaindera. Maka ia bersimpuh berkali kali untuk menatapnya tajam pada genital pria yang berdiri telanjang di hadapannya.
Selain Asmara Abigail, seluruh penampil adalah perempuan:Sha Ine Febriyanti, Sri Qadariatin, ElGhandiva Astrilia. Berempat mereka membacakan aspek Erotika Feminin dari penulis Anais Nin, Anne Cecile Desclos, Marguerite Duras dan pemenang nobel Annie Ernaux.
Pembacaan menampilkan perkisahan--semuanya berbentuk aku lirik, tokoh pertama yang menceritakan ihwal hasratnya pada raga laki laki. Maka panggung penuh dengan diksi, metafora, kalimat yang detail menggambar ihwal pandangan perempuan soal tubuh tubuh laki laki. Seluruh perempuan seakan "menelanjangi" tubuh laki laki satu persatu.
Pertunjukan merupakan rangkaian Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 bertajuk Mon Amour yang digelar oleh Komunitas Salihara. Selama sepekan, sejak 05 Agustus 2023 hingga 12 Agustus 2023 kurator festival merayakan persilangan budaya Indonesia-Prancis dengan memilih menampilkan sejumlah karya sastra, pemikiran, seni pertunjukan hingga film.
Karya sastra Prancis penuh dengan penjelajahan tubuh. Dari khazanah ini kita mengenal Marquis de Sade yang selalu mengeksplorasi sisi gelap dari penjelajahan tubuh dan erotika. Tulisan Marquis de Sade mengoplos tema tema filsafat, kemanusiaan, pornografi dengan kekerasan pada batas ekstremnya.
Sade membabat norma norma puritanisme, agama dan hukum yang masih dipegang kukuh di Prancis pada abad ke-18. Dari Marquis de Sade kita mengenal kata sadis. Pada era kiwari, eksplorasi lebih tajam---ditemukan lewat eksperimentasi petualangan akan tubuh--dilakukan penulis Paul-Michel Foucault.
Empat penampil setelah membaca teks Erotika Feminim dari penulis Anais Nin, Anne Cecile Desclos, Marguerite Duras dan pemenang nobel Annie Ernaux. (Foto: Komunitas Salihara)
Yang menarik, pembacaan akan tubuh dan erotikanya disusun, dibangun, dibentuk seluruhnya oleh penulis perempuan berdasarkan konsep erotika feminin yang dirumuskan tokoh feminis Helene Cixous.
Pendiri Pusat Studi Perempuan di Universitas Paris VIII ini memang tokoh penting dari Pemberontakan Mahasiswa Mei 1968 yang mengguncang Paris. Konsep erotika feminin kini jadi klasik, digunakan untuk menelaah karya karya bertema erotika dari berbagai disiplin, dari sastra, musik, tari hingga filsafat.
Yang cukup mengganggu agaknya layar dengan visual yang tak bicara apa-apa di belakang panggung. Jika cahaya cukup lampu spot yang menyala pada aktor yang membaca kisah di panggung, bentuk akan lebih imajis. Atau, misalnya secara minimalis meletakan properti ranjang di panggung untuk dieksplorasi pemain akan melampaui dari sekedar pembacaan karya sastra.
Selain itu, jika salah satu penampil membacakan tema erotika feminin dari khazanah sastra Indonesia cukup menarik. Karya karya NH Dini, Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu cukup bisa jadi "pembanding" dan dialog bagaimana tema tema senada diolah oleh penulis tanah air.
Apapun, pembacaan tema tema erotika feminin dalam karya sastra oleh empat aktor itu perlu diapresiasi. Apalagi tema tema eksplorasi hasrat ketubuhan, ketelanjangan, seksualitas cukup "sensitif' di Indonesia.
Pada 2005 Instalasi Pink Swing Park karya Agus Suwage dan Davy Linggar yang dipamerkan dalam CP Biennale II di Museum Bank Mandiri, Jakarta pernah berurusan dengan hukum. Seniman bersama para model karya, Anjasmara dan Isabel Yahya terkena delik pasal asusila karena karya mengeksplorasi ketelanjangan (kemurnian) tubuh laki laki dan perempuan di sebuah taman bernuansa pink.
Karya Lingga Yoni dari Perupa Arahmaiani, misalnya didemo saat dipamerkan karena dianggap mencemarkan agama Islam. Sebabnya, Arahmaiani menyandingkan huruf Arab pegon dengan alat vital laki laki dan perempuan. Meski sebenarnya, ide dasar Arahmaiani bertolak dari gagasan kesuburan, keseimbangan gender laki laki dan perempuan yang ia riset dari gambar dan artefak di Candi Sukuh.
Maka Langkah untuk mengetengahkan kembali pandangan perempuan tentang hasrat, seksualitas dan ketubuhannya dalam sejumlah karya sastra Prancis penting agar perempuan bisa mengambil inspirasi dari penulis perempuan di belahan dunia lain dalam membangun dunia perempuan.
Apalagi belakangan terjadi gelombang pasang lanjutan dari feminisme di Indonesia ketika sejumlah aktivis perempuan bersama sama membangun Sekolah Pemikiran Perempuan. (bwo)
Load more