Satir politik itu kita pelajari dari Aldi Taher. Dalam sebuah dialog di sebuah program berita, pesohor itu ditanya presenter tvOne tentang apa yang akan dilakukan di gedung parlemen kelak jika terpilih.
Jawabannya di luar dugaan. Tiba tiba ia mengajak membaca Alquran surah Al-Fatihah sambil memuji Dewi Persik, mantan istrinya. "Pokoknya, I love you, TVOne, I love you Dewi Perssik," ujar Aldi.
Wajahnya serius saat menjawab. Cara bicaranya ceplas ceplos. Ia tak terlihat berupaya untuk berpikir saat memberikan jawaban, atau berargumen lebih bernas, misalnya, agar publik yang mungkin sedang menonton terpikat. Bukankah dengan jawaban yang tampak dipikirkan matang ada peluang lebih besar ia akan dipilih dalam pemilihan legislatif pada Februari 2024?
(Rekaman layar tvone, Wawancara Aldi Taher di program Kabar Petang)
Ia mendaftar sebagai caleg pada dua parpol yang berbeda: Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Kedua partai ini punya latar belakang yang sangat berbeda dan sulit disatukan sebenarnya, PBB disebut sebagai partai pewaris Masyumi dan tentu berasaskan Islam, sementara Perindo berasaskan nasionalis sekular.
Namun, Ia tak merasa ada benturan ideologi dengan latar belakang partai partai tersebut. Toh sebelumnya ia juga pernah terdaftar sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera dan mengaku pernah dekat dengan Partai Golkar.
Selama wawancaranya, alih-alih memberikan jawaban substansial atas pertanyaan yang diajukan oleh pembawa acara, Aldi terus menerus membuat pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal dan melakukan aksi yang tidak relevan dengan konteks wawancaranya. Semua dijawab secara ringan seperti sekantong brondong yang kita kunyah saat menonton film hiburan di bioskop.
Seperti menemukan cermin tentang betapa tidak menariknya politik saat ini, publik yang jengak lantas menyambut kehadiran Aldi dalam dunia politik. Cuplikan wawancara Aldi beredar dari satu telepon genggam ke telepon genggam lainnya.
(Aldi Taher, selebritis yang kini menjadi calon anggota legislatif. Sumber: ANTARA)
Video rekaman wawancaranya ditonton jutaan orang. Ia ramai ditanggap pada banyak acara. Ia tampil polos, apa adanya, justru karena itu ia ditertawakan bersama sama.
Barangkali publik merasa mendapatkan hiburan segar, sebuah komedi hitam, sarkasme, mungkin juga satir yang tajam pada dunia politik saat ini —sayangnya terasa pahit bagi demokrasi Indonesia.
Betapa politik, dunia ide dan gagasan itu, kini terasa semakin jatuh ke dalam kubangan. Praktik pragmatisme tak hanya monopoli Aldi, namun dengan telanjang diperagakan dalam semua produk politik kepartaian (koalisi, politik pilkada, perebutan jabatan jabatan publik dalam birokrasi) dewasa ini.
Pada akhirnya rakyat dengan cepat paham, ketika jual beli terjadi di semua lembaga politik modern, kenapa kami tak boleh melakukannya pada hulunya: saat pemberian suara di pemilu?
Yang terjadi saat ini adalah oportunisme politik dalam bentuknya yang paling banal. Jusuf Kalla pernah menyebut untuk berlaga sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar saja, seorang calon harus menyiapkan uang minimal Rp 500 miliar.
(Wakil Presiden RI Ke-10 dan Ke-12, Jusuf Kalla. Sumber: ANTARA)
Kita tentu percaya Jusuf Kalla. Ia pernah menjadi Wakil Presiden hingga dua kali dan pernah memimpin Partai Beringin itu.
Lalu bagaimana untuk menjadi anggota DPR? Biaya politiknya juga terus meroket. Jika dulu cukup ratusan juta rupiah kini hingga miliaran rupiah. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar menyebut untuk lolos ke Senayan, Caleg di Jakarta harus keluar uang hingga Rp 40 miliar rupiah. Fantastis, sekaligus absurd.
Partai yang abai melakukan pendidikan politik dan rekrutmen kader yang sehat akibatnya lebih memilih jalan pintas: merekrut pengusaha atau pesohor (artis) sebagai calon anggota legislatif. Tengok Daftar Caleg Sementara yang sudah dipublikasi pada laman Komisi Pemilihan Umum pekan lalu, pengusaha dan artis mendominasi hampir di semua daerah pemilihan.
Data berbicara pada pemilu 2019 lalu jalur pengusaha paling banyak menghasilkan anggota DPR. Riset Auriga Nusantara menyebut dari sepuluh anggota DPR yang terpilih, lima hingga enam orangnya pastilah komisaris, direksi atau minimal pemilik saham sebuah perusahaan.
Setidaknya ada 318 anggota DPR 2019-2024 yang berlatar belakang pengusaha. Penelitian juga menulis ketika mengganti anggota DPR lewat Pergantian Antarwaktu (PAW), jalur pengusaha paling banyak dipilih oleh ketua umum partai.
(Suasana sidang paripurna DPR. Sumber: ANTARA)
Dalam sistem proporsional terbuka, persaingan merebut suara bahkan terjadi antara caleg dalam satu parpol. Dalam konteks ini selain kekuatan modal, popularitas adalah penentu kemenangan. Dan agar partai lolos ambang batas parlemen, secara instan, artis direkrut untuk menggenjot suara.
Penyanyi, model, presenter televisi, selebgram hingga pelawak yang sebagian sudah afkir di dunia hiburan, tapi masih dikenal publik, direkrut menjadi calon calon politisi.
Walhasil, Partai Amanat Nasional diplesetkan menjadi Partai Artis Nasional karena memajang lebih dari 17 selebriti pada daftar calegnya. Hal yang sama terjadi pada partai besar yang konon kaderisasi internal lebih baik: PDIP dan Gerindra.
Kualitas demokrasi bergantung dengan kualitas politisi. Kita tak melihat gagasan, ide, pikiran, program yang ditawarkan oleh calon calon wakil rakyat itu saat berhadapan dengan pemilih. Mereka cukup mengunggah video video pendek saat tengah joget joget atau kesibukan mencicipi aneka masakan.
Tak ada misalnya politisi yang terjun ke dusun dusun di pedalaman, menemui petani, nelayan, buruh, menjabarkan dengan detail program program alternatif untuk kesejahteraan sosial masyarakat yang tengah digagas parpolnya.
(Sejumlah anggota DPR melakukan swafoto. Sumber: ANTARA)
Ideologi parpol hanya tertulis indah di AD/ART untuk mendaftar sebagai organisasi peserta pemilu di Kementerian Hukum dan HAM dan KPU. Dalam praktek politiknya kita tak bisa membedakan lagi ideologi masing masing. Semua parpol rasanya sama dan seragam. Tak heran jika caleg bisa enteng melompat dari partai berasas nasionalis ke partai Islam atau sebaliknya.
Pengusaha yang terjun ke politik juga memperlakukan partai sebagai layaknya perusahaan keluarga. Hary Tanoesoedibjo yang mendirikan dan pemilik Partai Perindo misalnya mengajak seluruh anggota sebagai calon anggota legislatif.
Hal yang sama juga dilakukan dengan pemilik parpol lain, seperti Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto.
Pemilik parpol mengkhianati kebebasan politik, kemerdekaan indvidu yang melandasi falsafah pemilihan langsung lewat aturan ambang batas pencapresan 20 persen (presidential threshold). “Ini peternakan oligarki,” ujar Rocky Gerung, satu satunya dari sedikit sarjana yang masih menjalankan fungsi intelektual publik di Indonesia saat ini.
(Dok. Hary Tanoesoedibjo dan keluarga setelah melakukan pencoblosan. Seumber: Perindo)
Pemimpin juga bukan dihasilkan dari rahim gerakan rakyat, tapi dari survei survei yang dipesan. Mulanya metode ilmiah yang dicangkokkan pada proses politik memang hanya alat untuk memahami apa kehendak warga.
Ia perangkat “terbatas” untuk merumuskan keadaan yang sangat terikat ruang (wilayah survei) dan waktu (masa survei dilakukan) dan lebih sebagai kebutuhan internal parpol, daripada kepentingan publik.
Namun, kini survei dijadikan parameter utama untuk memilih pemimpin. Alih alih sekedar alat, survei justru jadi tujuan utama, bagian strategi pemenangan untuk mengkonstruksi, membingkai keadaan. Survei lalu dijadikan cara untuk memunculkan calon pemimpin dan menenggelamkan calon pemimpin lain.
Dulu parlemen yang bergemuruh disebut Soekarno syarat mutlak kuatnya negara. “Tidak ada negara yang betul betul hidup, jika lembaga perwakilannya tidak mendidih seperti kawah candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Maka, perjuangkanlah ideologimu sehebat-hebatnya dalam lembaga perwakilan...” ujar Soekarno saat berpidato di rapat Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945.
(Dok. Soekarno saat berpidato. Sumber: ANTARA FOTO)
Kini, 78 tahun setelah Soekarno berseru di mimbar yang terhormat itu, seorang yang mengaku pewaris ideologinya, bagian elit partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, putri sang proklamator itu, pada sebuah rapat di gedung parlemen berseru:
“Republik di sini nih gampang. Lobby-nya jangan di sini Pak. Ini di sini nurut bosnya masing-masing."
Yang dipertuan agung, anggota dewan yang terhormat itu, bicara bahwa ia bisa diperintah apapun oleh sang bos, juragan, majikan. Tapi yang disebut bos bukanlah rakyat yang telah mengantarkan ia ke gedung parlemen, tetapi Ketua Umum Partai Politik. Betapa tak menariknya politik sekarang.
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more