Setiap ada keluhan soal kualitas pendidikan Indonesia saya ingat Sosrokartono. Kakak RA Kartini yang dikenal sebagai jenius dari Timur ini membuktikan pendidikan kita pernah mencapai kualitas baik di dunia.
Ia lulusan terbaik Hoogere Burger School (HBS) Semarang. Karena kecerdasannya itu pada 1898 anak keempat dari R.M. Ario Sosrodiningrat ini lalu melanjutkan studi ke Belanda. Mulanya ia belajar di Sekolah Teknik Tinggi di Delft.
Namun, merasa tidak cocok dengan materi yang dipelajari, ia pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur hingga lulus dengan gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dari Universitas Leiden.
(Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandung R. A. Kartini. Sumber foto: buku R.M.P. Sosrokartono: Sebuah Biografi (1987))
Setelah lulus, Sosrokartono memilih mengembangkan karir di Eropa bersamaan dengan fajar modernisasi yang tengah merekah. Saat perang dunia pertama pecah, Sosrokartono tercatat sebagai wartawan New York Herald Tribune. Ia wartawan Hindia Belanda pertama yang jadi wartawan di Eropa.
Dengan keahlian sebagai poliglot (menguasai 37 bahasa, termasuk 17 bahasa di Eropa) Sosrokartono dengan cepat terjun ke kancah peperangan di Eropa. Karena kelincahannya mewartakan medan tempur, ia bahkan diberi pangkat mayor oleh Panglima Perang Amerika Serikat.
Suatu kali ia membuat takjub tentara sekutu ketika melewati wilayah Basque di Spanyol, Sosrokartono dengan fasih menjadi penerjemah legiun itu di lapangan.
Sebuah tulisan di New York Herald Tribune soal hasil perundingan perdamaian rahasia di hutan Compaigne , Prancis Selatan, misalnya menggemparkan Amerika dan Eropa saat itu. Penulisnya anonim, hanya menggunakan kode pengenal 'Bintang Tiga'. Namun, di kalangan wartawan Perang Dunia I sandi itu merupakan kode wartawan perang Sosrokartono. Wartawan lokal terhebat pun tak bisa mencium adanya perundingan rahasia itu.
Selepas berkarir sebagai wartawan, sejak 1919 hingga 1921 ia jadi kepala penerjemah untuk semua bahasa di dunia pada Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal PBB) yang baru didirikan.
Saat perjuangan kemerdekaan Indonesia, Soekarno berkali kali meminta nasehat dari Sosrokartono.
(Soekarno bertemu guru spiritualnya, Syekh Musa Sukanegara, KH. Abdul Mu'thi, R. Sosrokartono, dan KH. Hasyim Asy'ari. Sumber: Istimewa)
Saya ingat, dalam film Kartini yang disutradarai Hanung Bramantyo, Sosrokartono divisualkan sebagai teladan bagi RA Kartini. Dalam satu adegan, ---Sosrokartono dimainkan dengan sangat baik oleh Reza Rahadian, Kartini (dimainkan Dian Sastro) membuka lemari kuno yang berisi berbagai buku tebal. Dari buku buku warisan Sosrokartono inilah Kartini memahami dunia.
Sosrokartono adalah produk pendidikan Hindia Belanda yang mewajibkan kegiatan membaca dan menulis sejak dini. Ketika itu siswa sekolah menengah Algemene Middelbare School (AMS) sudah pasti menguasai empat bahasa (Jerman, Inggris, Prancis dan Belanda) dan membaca minimal 25 karya sastra dunia, dari Perang dan Damai-nya Leo Tolstoy hingga Hamlet-nya William Shakespeare.
Maka ketika Kemendikbud Ristek Nadiem Makarim menerbitkan aturan Permendikbud Ristek No 53/2023 soal skripsi tak lagi diwajibkan sebagai syarat mahasiswa S1 untuk lulus dari perguruan tinggi–karena dianggap terlalu membebani kelulusan mahasiswa–bagi saya kebijakan ini seperti kepala yang gatal, sementara kaki yang digaruk.
(Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Sumber: ANTARA)
Kenapa mahasiswa kesulitan menulis dan mengungkapkan pikiran pikirannya secara terstruktur dan logis lewat saat menulis skripsi? Pangkal soalnya adalah terpinggirkannya pelajaran membaca dan mengarang di sekolah menengah. Harusnya ini lah yang dibenahi, bukannya menghapuskan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan.
Sastrawan Taufiq Ismail pernah mengadakan penelitian soal pengajaran bahasa dan sastra di sekolah kita yang tak mengajarkan siswa membaca buku. Dalam penelitian terungkap pelajaran bahasa dan sastra kita di sekolah menengah sangat didominasi pengajaran tata bahasa.
Akibatnya, setiap siswa kita yang telah lulus SMA tak memiliki pengalaman membaca satu buku sastra pun. Siswa kita tumbuh dengan kondisi rabun sastra. Tak memiliki kecakapan menulis dan membaca. “Pengajaran sastra kita nol buku,” ujar Taufiq Ismail saat itu.
Kemunduran ini terjadi sejak 1950-an ketika kemerdekaan kita diakui Belanda dan kurikulum pendidikan bahasa dan sastra era Hindia Belanda diubah jadi lebih berat ke aspek tata bahasa.
Tak heran jika Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah memberikan sebuah data yang murung.
Tahun ini, 2023 anggaran pendidikan di tanah air mencapai titik tertinggi di sepanjang sejarah Indonesia. Anggaran pendidikan di dalam APBN 2023 mencapai Rp 612,2 triliun. "Untuk pertama kali dalam sejarah kita, anggaran pendidikan kita mencapai di atas Rp 600 triliun, yakni Rp 612,2 triliun," jelas Sri Mulyani.
(Ilustrasi - Kondisi anak sekolah di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Sumber: ANTARA)
Namun, apakah dengan segera kita mendapatkan mutu pendidikan yang tinggi?
Merujuk data Programme for International Student Assessment (PISA), lembaga yang menggelar sistem ujian yang untuk mengevaluasi sistem pendidikan di 72 negara di seluruh dunia, menunjukan ternyata belanja pendidikan tak selamanya berdampak signifikan pada kualitas manusia Indonesia.
Skor data PISA Indonesia cenderung stagnan, bahkan masih jauh di bawah rata-rata negara ASEAN serta negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangun Ekonomi (OECD).
(Ilustrasi - Aktivitas belajar mengajar siswa di NTT. Sumber: ANTARA)
Meski belanja pendidikan terus meningkat tajam, pada 2018 lalu, misalnya, PISA mengetes sejumlah siswa berusia 15 tahun yang dipilih secara acak di masing-masing negara untuk mengikuti tes dari tiga kompetensi dasar yaitu membaca, matematika dan sains.
Hasilnya untuk kemampuan membaca, skor siswa Indonesia mencapai 371 berada di bawah skor rata-rata negara OECD yakni sebesar 487. Berdasarkan data Bank Dunia, kualitas pendidikan kita bahkan masih kalah dari Vietnam, negeri yang pada 1970-an saja masih berperang dengan Amerika Serikat.
Saya termasuk generasi yang mengalami sekolah yang tak selamanya menyenangkan di era Orde Baru. Ada masa saya merasa sekolah sebagai tempat yang mengasingkan. Terutama saat saya beranjak remaja dan kepala mulai dipenuhi gugatan pada apapun yang tadinya saya terima begitu saja.
Saya merasa sekolah terlalu mekanis, teknis dan penuh dengan kewajiban hapalan hapalan semata.
Misalnya saat belajar ilmu hitung saya hanya harus menghafal 6x6 adalah 36, tanpa ada pertanyaan mengapa saya harus mempelajari itu semua. Tak ada guru yang menjelaskan, kenapa harus belajar ilmu hitung? Kini memang saya bisa menjawab bahwa belajar matematika agar kita bisa berbahasa dengan logis dan teratur, namun pada usia akil baliq, saya tentu sulit menemukan jawaban semacam itu.
Pendeknya, saya mengalami situasi guru adalah sumber pengetahuan dan murid adalah bejana bejana kosong yang harus diisi. Pendidikan dipahami hanya seperti kegiatan menabung saja: murid adalah celengan, sementara guru pihak yang menabung. Tak ada proses komunikasi, guru hanya menyampaikan pernyataan pernyataan untuk mengisi “tabungan” yang harus dihafal dan diulangi siswa.
Hingga saya menemukan makna belajar dan sekolah ketika membaca buku Pedagogy of The Oppressed karya Paulo Freire (diterjemahkan dan diterbitkan dengan kualitas sangat baik oleh LP3ES jadi Pendidikan Kaum Tertindas). Buku ini mengajarkan saya bahwa pengetahuan hanya bisa lahir lewat penemuan penemuan ulang, melalui pencarian manusia yang senantiasa gelisah penuh pertanyaan tentang dunia.
Membaca buku buku karya Paulo Freire atau Deschooling Society-nya Ivan Illich misalnya lalu mengasah daya kritis saya saat mahasiswa. Suntuk membaca, saya pun terangsang menulis. Membaca dan menulis ternyata sebuah kegiatan dalam satu tarikan nafas. Ia sebuah kesatuan.
Bahkan saya terprovokasi untuk menulis paradigma pembebasan dalam pendidikan di Indonesia berdasarkan karya karya Paulo Freire untuk skripsi yang saya susun. Saya sangat menikmati proses menulis skripsi ini yang lalu meskipun diganjar apresiasi yang tidak cukup baik dari pembimbing skripsi di kampus karena terlalu keluar dari pakem kurikulum saat itu. Tapi tidak apa, bagi saya inilah proses pendidikan yang sebenarnya: egaliter, membebaskan, mencerdaskan.
Demikian, pada akhirnya keputusan menghapus skripsi sebagai syarat kelulusan buahnya nanti akan terlihat satu generasi ke depan dan saya kembali teringat Sosrokartono dan generasinya.
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more