Hal ini terjadi lantaran sisa sisa traumatik hubungan Islam dan negara yang penuh perjuangan ideologi di zaman Orde Lama. Di awal Orde Baru bahkan PNS tak berani menjalankan sholat Jumat di kantor pemerintah karena takut dituduh bagian dari kelompok yang dicurigai negara.
“Kami diperlakukan seperti anjing kurap,” ujar dedengkot Masyumi Mohammad Natsir mengenang perjuangan umat di awal Orde Baru.
Tapi, seperti pernah dengan bagus dipaparkan oleh sejarawan Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Islam, agama punya elan vital yang berbeda. Ia tak bisa diatur, ditindas, dibonsai oleh kekuasaan lewat instrument politik apapun.
Logika agama bukan logika kekuasaan, tapi logika kepercayaan. Penindasan pada agama justru akan menyuburkan agama itu.
Kuntowijoyo memberi contoh, Musa menyebarkan agama di bawah ancaman Firaun. Agama Kristen tumbuh subur justru ketika ditindas oleh kekuasaan Romawi. Elite Quraisy setengah mati menekan penyebaran Islam, namun peradaban yang dibawa Nabi Muhammad SAW justru berkembang tak tertahankan.
Maka, 'blessing in disguise' pun terjadi dalam iklim penindasan Orde Baru. Dalam situasi sesulit apapun, kehidupan dakwah (secara klandestin, rahasia) ternyata terus tumbuh.
(Dok. Rapat akbar partai Masyumi tahun 1955. Sumber: Wikipedia/Wikimedia)
Saya menyaksikan, bahkan merasakan sendiri ketika empat tahun menjadi santri, mondok di Pesantren Al Hidayah Purwokerto. Jika ada kesempatan tabliq akbar, santri gemar mengundang penceramah yang vokal, berani melawan penguasa Orde Baru (biasanya berafiliasi dengan PPP). Dalam segala keterbatasan, rekan rekan saya tetap bisa melampiaskan ekspresi politiknya.
Kini santri bukan hanya booming, mekar di mana mana, jadi kekuatan kelas menengah baru, tapi juga berdaya secara politik.
Riset terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebut pascaOrde Baru terjadi kenaikan drastis umat yang merasa bagian dari jamaah Nahdlatul Ulama: pada 2005 persentasenya hanya sebanyak 27,5 persen, namun pada 2018 naik menjadi 56,9 persen.
Load more