Jakarta - Indonesia memiliki ragam tanaman pala yang tersebar di berbagai daerah, tetapi ada kekurangan dan kelebihan dari anugerah tersebut, kata peneliti Utama Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) Kementerian Pertanian Otih Rostiana.
"Di Indonesia, keuntungannya jadi ada banyak pilihan, bisa dipakai untuk rempah bumbu makanan, kosmetik sampai obat," kata Otih dalam webinar, dikutip Selasa.
Kekurangannya, tidak semua jenis bisa memiliki kualitas tertinggi. Berkebalikan dengan kondisi buah pala di negara kepulauan Grenada yang jadi pesaing kuat Indonesia dalam pasar pala. Kualitas pala di Grenada tinggi karena hanya ada satu jenis pala, tidak bervariasi seperti di Indonesia.
Pala hadir di Grenada setelah dibawa oleh Inggris yang pernah menjajah Indonesia. Menurut Otih, zaman kekuasaan Inggris, buah pala disebarkan ke daerah jajahan mereka, termasuk pulau Grenada.
Dia menuturkan, biji dan fuli pala telah menjadi rebutan bangsa asing sejak tahun 1511. VOC menguasai perdagangan remlah di Maluku pada tahun 1600.
Pala Maluku kemudian dibawa dan dikembangkan ke berbagai daerah seperti Sulawesi Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Aceh, Lampung hingga Jawa Barat.
"Dari pulau Banda, pala dibawa penjajah ke Jawa Barat, jadi kualitas pala Jawa Barat enggak kalah sama pala Banda," kata Otih.
Menurut Otih, pada umumnya pala yang dibudidayakan berasal dari kepulauan Maluku bagian selatan, terutama Ambon dan Banda, karena punya kualitas yang tinggi.
Tidak semua pala bisa cocok dipakai untuk bahan masakan, obat atau kosmetik. Ada juga pala hutan yang hanya cocok sebagai pohon pelindung, bukan dimanfaatkan buahnya.
Di Indonesia, ada lima provinsi yang jadi sentra produksi pala dengan kontribusi kumulatif 86,71 persen per tahun, yakni Aceh (25,46 persen per tahun), Maluku Utara (19,89 persen), Sulawesi Utara (14,79 persen), Maluku (14,65 persen), Papua Barat (11,93 persen). (ant/mii)
Load more