Ketika pasukan gabungan dari Brigade Mobil dan Tentara Nasional Indonesia merangsek masuk ke tiga kampung tua pada 7 September 2023 lalu, setelah sebelumnya menjebol blokade yang dibangun warga di ujung pintu masuk kampung, yang sontak membuat warga (sebagian juga anak anak sekolah) berlarian sebisanya menghindari tembakan gas air mata, saya teringat sepotong larik karya penyair asal Rengat, Riau, Sutardji Calzoum Bachri:
“Daging kita satu, arwah kita satu. Walau masing masing jauh, yang tertusuk padamu berdarah padaku.”
Seperti sajak itu, tentara dan rakyat adalah satu. Ada istilah manunggalnya tentara dengan rakyat.
Cukup banyak spanduk bertebaran dengan kalimat,”Terbaik untuk rakyat, terbaik untuk TNI” di markas tentara. Jadi ketika Panglima TNI Yudo Margono menyebut kata ‘piting” untuk menghalau warga Pulau Rempang yang sedang protes, luka sosial semakin menganga.
(Panglima TNI Yudo Margono. Sumber: ANTARA)
Apalagi ketika tahu serangan aparat itu bukan kekerasan negara satu-satunya yang dialami warga Rempang. Setelah negosiasi panjang selama dua bulan untuk memindahkan penghuni 12 kampung tua ke Pulau Galang —-sekitar 40 kilometer dari Pulau Rempang-- tak membuahkan hasil, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) memang seperti kelimpungan.
Sesungguhnya BP Batam tengah diburu tenggat: pemerintah pusat mengultimatum paling lambat 28 September 2023 seluruh warga harus hengkang dari pulau seluas 16.583 hektar. Sebabnya, ada rencana investasi hingga nyaris Rp400 triliun yang bakal masuk, sebagian besar dari investor China yang digandeng PT Makmur Elok Graha, anak usaha Group Artha Graha.
Tapi, dalam negosiasi warga terus menerus menolak relokasi. Bahkan kerusuhan kembali pecah ketika ribuan warga mengepung kantor BP Batam pada 11 September 2023.
Load more