Untuk menggairahkan pembangunan, misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan kabarnya hingga harus menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan pada sebuah perusahaan biofarmasi yang mengelola konsesi 148 hektare di Pulau Rempang. Ini semua terungkap di rapat kerja di DPR pada 12 Juni 2023. Belakangan pelepasan hutan disebut cacat hukum karena menyalahi aturan dimana seharusnya diberikan pada BP Batam, bukan pada perusahaan pengelola konsesi.
Kita tentu tidak sedang memusuhi investor, baik asing maupun lokal. Keterbatasan kemampuan Pemerintah pusat dan daerah dalam menciptakan lapangan kerja membuat negara mencari investor untuk terjun langsung membuat pabrik dan industri untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan di daerah-daerah.
Tomy Winata, pemegang konsesi di pulau seluas 16.583 hektar sejak 2001 itu, misalnya hanya lah seorang taipan yang tengah melihat peluang bisnis. Ia mengaku miris ketika naik perahu dari Johor di Selat Malaka menatap dua pemandangan yang sangat kontras. Ia melihat gemerlap lampu di Singapura, di saat yang sama, ketika melemparkan pandangan ke deretan pulau-pulau lain (di wilayah RI) ia hanya melihat kawasan yang diselimuti kegelapan.
“Tidak adakah upaya membuat kawasan itu lebih terang sedikit,” ujar Tomy.
Tomy juga mengaku dipicu keresahan lain: penjualan bahan baku pasir kuarsa dan silika begitu saja tanpa pengolahan. "Itu dijual sangat murah. Kok tidak diributin?" katanya pada Majalah Berita Mingguan Tempo.
(Pengusaha nasional Tomy Winata. Sumber: ANTARA)
Rempang memang kaya bahan baku pasir kuarsa dan silika. Dengan hilirisasi, mengundang produsen kaca terbesar di dunia, Xinyi Glass diharapkan nilai tambah dan harga bahan baku akan meningkat. Apalagi Xinyi tak hanya akan membuat kaca, tapi juga solar panel, energi baru yang di masa depan akan jadi primadona niaga antar negara.
Tomy membayangkan akan membangun sebuah kawasan bisnis terpadu di Pulau Rempang yang dinamai Rempang Eco City. Ada sentra bisnis, kawasan perumahan dan pariwisata.
Load more