Catatan Ecep S. Yasa/Wapemred tvOnenews.com.
PADA awal dan akhirnya semua yang dilakukan Mohammed Deif adalah ihwal martabat. Sepanjang sejarah hidupnya, lelaki berjuluk ‘kucing bernyawa sembilan ini’ mengalami martabat yang diinjak dan harga diri yang direnggut.
Serangan kejutan yang ia gagas pada Sabtu (7/10) lalu, bertepatan dengan ulang tahun ke-50 perang Israel melawan Arab, ketika warga Yahudi tengah berleha-leha menikmati libur sabatikal adalah usaha membangkitkan kembali martabat warga Palestina.
Dengan serentak, diawali serangan pesawat tanpa awak (drone) menyerang pos pengawasan, disusul ribuan roket Al Qassam menghujani wilayah Israel yang tak mampu dihalau sistem pertahanan udara Iron Dome, disusul serangan yang lebih mematikan: infiltrasi fisik.
(Roket ditembakkan ke arah Israel dari Jalur Gaza, Minggu, 8 Oktober 2023. Sumber: AP Photo)
Ketika panik dengan serangan ribuan roket, pejuang Hamas menyerang Israel dari berbagai arah. Hamas menyerang sasaran militer Israel, membunuh dan menangkap tentara, serta merampas peralatan militer.
Yang paling meruntuhkan adalah penggunaan perangkat audio visual untuk merekam dan menyebarkan serangan di perbatasan Israel yang ternyata sangat meruntuhkan psikologis lawan. Menggunakan gadget merek tertentu dari China yang kerap dilecehkan secara teknologi, ternyata justru efektif mengelabui radar, sensor dan penyadapan Israel.
Operasi bersandi Badai Al Aqsa dianggap berjalan sukses. Dunia tersentak, sadar, ternyata ada bangsa yang masih menggeliat memperjuangkan terus menerus kemerdekaannya. Ada sebuah negeri yang harga dirinya senantiasa diringkus dan terus berusaha bangkit.
"Dengan jiwa dan darah, kami menebusmu, Deif," kata warga di sambil bernyanyi saat merayakan suksesnya serangan Hamas sebelum Israel membabi buta menyerang balik wilayah itu.
Mohammed Deif!... Mohammad Deif!... Nama itu diserukan pemuda pemuda dengan wajah penuh debu di jalanan Gaza sambil mengibarkan bendera tiga warna: hitam, putih dan hijau karena telah memberi mereka (meski sesaat) apa maknanya memiliki harga diri dan martabat dalam hidup.
(Warga Palestina di kamp pengungsi Palestina al-Bass, di kota pelabuhan selatan Tyre, Lebanon, merayakan serangan yang dilakukan kelompok militan Hamas terhadap Israel. Sumber: AP Photo)
Deif memberi harga diri bagi bangsa yang tersia-sia justru karena mengalami bagaimana rasanya ditampik dan disingkirkan. Lahir di kamp pengungsi Khan Yunnis di Jalur Gaza pada 1965, Deif memiliki nama lahir Mohammed Diab Ibrahim al-Masri.
Sejak lahir ia hampir tak pernah merasakan menetap, tinggal, berdiam pada sebuah rumah. Ia tak pernah memiliki rumah, seperti ayam, burung atau kucing di jalanan Gaza yang diberi tempat tinggal. Ia dijuluki ‘Deif’; bermakna ‘tamu’ (arab) karena selalu mengembara tak tentu rimba, berpindah pindah. Sebagai ‘tamu’ ia hanya datang sejenak atau sesaat setiap berada di sebuah wilayah, lebih banyak menghabiskan hari harinya di lorong lorong bawah tanah.
Sejak kecil ia mengalami moral yang dipermainkan. “Cintailah orang asing itu: kalian juga orang asing tatkala hidup di Tanah Mesir”. Itu sabda Tuhan dalam Taurat, kitab suci umat Yahudi. Tapi, ia melihat pemukim Yahudi yang semakin banyak jumlahnya--- umumnya datang dari Brooklyn, New York ---selalu menghardik dirinya dengan kebencian.
Pada 1994 ia melihat Baruch Goldstein pada Jumat pukul 5:20 pagi saat umat Muslim baru saja selesai menegakkan shalat subuh, tiba tiba masuk ke tempat ibadah sambil menenteng senjata dan memberondong orang yang tengah sujud di Masjid Ibrahim, Hebron, Palestina. Puluhan jamaah tersungkur.
“Mereka itu patogen yang menjangkiti kita,” ujar Goldstein tak menyesal atas perbuatannya. Moralitas agama ia jadikan sebagai alat untuk membenci.
Satu hari setelah serangan Badai Al Aqsa, ia menulis surat yang dimuat Middle East Monitor menyebut serangannya bagian dari mengutuk pemukim-pemukim baru yang sikapnya seperti Goldstein.
“Pendudukan Israel melarang warga Palestina mengakses Masjid Al-Aqsa dan mengizinkan pemukim pemukim baru kolonial Israel mengotori situs suci umat Islam dan melakukan penggerebekan setiap hari ke kompleks suci umat Islam,” tulis Deif dengan lancar.
(Arsip Foto - Masjid Al-Aqsa. Sumber: ANTARA)
Deif beruntung saat muda masuk Hamas. Organisasi perlawanan modern yang diinisiasi aktivis Ikhwanul Muslimin pada 1970-an itu terus melahirkan pejuang pejuang baru dari kancah pertempuran.
Pada 2010 saya pernah memasuki markas tertinggi mereka di Gaza. Dengan mata tertutup, para pengawal bersenjata dan orang orang sipil membawa saya dengan kendaraan ke sebuah tempat. Selanjutnya saya memasuki lorong lorong bawah tanah (juga dengan mata tertutup) yang agaknya dijadikan benteng pertahanan sekaligus tempat menggembleng pejuang-pejuang terbaik Hamas.
Setelah beberapa saat barulah mata saya dibuka. Dalam keremangan saya melihat bendera pembebasan Palestina terpasang pada sebuah dinding batu di ruangan seluas 5 meter x 5 meter. Ada peta wilayah terpancak di satu sisi ruang. Beberapa pengawal bersenjata menjaga pintu masuk ke ruang tersebut. Sesosok pria jangkung dengan mata teduh lalu menyapa saya.
Ia kemudian saya kenali sebagai Khaled Mashal, orang yang ikut mendirikan organisasi berwibawa ini pada 1987.
Sejujurnya, saya tidak terlalu ingat percakapan kami soal pandangan politiknya saat itu dalam membedah konflik Palestina-Israel. Yang terkenang hingga kini adalah gaya bicaranya yang runtut, teratur, terasa menghormati lawan bicara, termasuk saat terlihat takzim ketika mendengar dan menjawab.
(Wapemred tvonenews.com Ecep S Yasa (kanan) mewawancara salah satu pendiri Hamas Khaled Mashal (kiri). Sumber: Dok Pribadi)
Dengan pengalaman ini, saya jadi paham bagaimana Mohammed Deif punya kecanggihan pengetahuan perang dan diplomasi. Ia barangkali adalah Che Guevara bagi bangsa Palestina. Selama tahun 2000-an, dia selamat dari empat upaya pembunuhan oleh Israel walau harus menderita luka-luka parah --termasuk kehilangan salah satu mata dan beberapa bagian tubuhnya.
Upaya pembunuhan kelima atas Deif terjadi saat operasi militer Israel di Gaza pada 2014. Saat itu Israel melancarkan serangan udara atas sebuah rumah di kawasan Sheikh Radwan di Gaza, yang menewaskan istri Deif, Widad, dan anaknya yang masih bayi, bernama Ali. Israel mengira serangan itu turut menewaskan Deif. Tak lama kemudian, Hamas menyatakan bahwa Deif "masih hidup dan memimpin operasi militer" atas Israel.
Ia membangun roket Al qassam, salah satu harga diri Hamas yang dilecehkan selama bertahun tahun sebagai “teror” yang tak efektif. Roket yang baru dimiliki pejuang Hamas pada 2001 ini memang dibangun perlahan lahan. Ia hanya rakitan dari besi besi tua berpelontar yang diberi bahan peledak. Daya jangkaunya rendah, bahkan kerap jatuh di wilayah Palestina sendiri.
Siapapun yang pernah dinista dan diabaikan pasti mafhum apa yang bergejolak di dada Deif ketika melihat warga Palestina hidup dalam tahanan terbesar di dunia.
Pada 2002 Perdana Menteri Ariel Sharon membangun dinding dinding pembatas dari beton setinggi 10 meter atau dua kali lipat lebih tingginya dari tembok Berlin. Israel beralasan tembok hanya untuk menandai batas batas wilayahnya, namun kenyataannya demarkasi itu meruyak sepanjang 650 kilometer, merentang melintasi Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Tak cukup, kawat berduri, radar, kamera pengintai, juga parit di gali di kedua sisi.
Pagar seolah membawa pesan, ada pihak yang di dalam, “ditahan”, ada yang di luar, bebas berkeliaran. Bagi anak anak Palestina tembok menghapus identitas mereka. Seolah jadi anak Palestina adalah beban, memanggul KTP Palestina adalah kesengsaraan hidup.
Deif terpukul melihat warga kota el Azariyah, misalnya setiap pagi perlu alat pengangkut barang untuk menyeberangkan anak-anak mereka melintasi dinding untuk pergi ke sekolah.
“Mereka terus melanggar batas merah, tidak peduli pada apapun,” tulis Deif dengan getir. “Pemimpin dunia tak ada yang bertindak,” tambah Deif.
(Warga Palestina mengibarkan bendera nasional mereka dan merayakannya dengan tank Israel yang hancur di pagar Jalur Gaza di timur Khan Younis selatan Sabtu, 7 Oktober 2023. Sumber: AP Photo)
Ia malah menyaksikan pengkhianatan satu persatu negeri serumpun. Secara provokatif Presiden Amerika Donald Trump menginisiasi empat negara Arab (Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko) untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Artinya sudah enam negara Arab berdamai dengan Israel setelah Mesir (1979) dan Yordania (1994).
Kini, juga lewat kebijakan Abang Sam, Arab Saudi memasuki tahap akhir negosiasi normalisasi dengan Israel. Sebelum resmi diketok pun, dengan mata telanjang publik melihat menteri-menteri Israel keluar masuk Saudi secara terang terangan.
Dengan serangan Badai Al Aqsa, Mohammed Deif berhasil memberi martabat bagi warga Palestina. Ia mengenalkan lagi makna harga diri bagi seorang manusia.
Seperti kata penyair Palestina, Mahmoud Darwish, “Israel adalah kubur bagi kebesaran yahudi.”
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more