DI HARI hari ini kita dibuat sangat serius terhadap perkara calon wakil presiden. Kita mudah melengos jika diajak bicara siapa yang akan mewakili kita di Dewan Perwakilan Rakyat. Apa prestasi-prestasi, juga kenapa ia harus kita perjuangkan untuk dipilih.
Bisa dibilang kita lebih ribut bicara siapa pendamping dan bukan siapa yang layak memimpin negeri ini (presiden).
Bahkan, sebuah gugatan dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh partai pendukung penguasa—publik sebenarnya punya dugaan sahih tentang tujuan uji materi diajukan: Gibran Rakabuming Raka, putra sulung sang Presiden Jokowi telah dipinang sebagai pendamping bakal calon presiden, namun terhalang aturan hukum karena belum memenuhi batas usia minimal capres dan cawapres.
(Gibran Rakabuming Raka. Sumber: tim tvonenews/Julio)
Gugatan soal usia memang ditolak MK, toh selalu ada jalan lain. Mahkamah Konstitusi lalu mengabulkan sebagian gugatan lainnya. MK menerbitkan putusan dengan sejumlah anak kalimat lanjutan yang tak lazim:
'Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.'
Keputusan diambil dengan suara tidak bulat. Dua hakim MK dalam pernyataan pendapat berbeda (dissenting opinion) menyebut sejumlah kejanggalan. “Aneh, luar biasa, di luar nalar,” ujar Saldi Isra, salah satu hakim MK yang mengaku untuk pertama kalinya selama jadi hakim mengalami perubahan putusan yang sangat cepat.
Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara, orang yang menyusun argumentasi hukum untuk lengsernya mantan presiden Soeharto yang kini sekubu dengan Prabowo, capres yang menggugat aturan syarat capres dan cawapres ke MK, menyebut ada penyelundupan hukum yang implikasinya sangat besar untuk proses legalitas pemilu 2024.
Namun, palu sudah diketok. Dan kita melihat skenario besar yang telah disusun, kait mengait, detail, cermat, dengan plot yang tak terduga ini berlanjut: Gibran dengan mulus diberikan karpet merah untuk jadi pendamping Prabowo Subianto.
Bahkan, lewat sebuah Rapat Pimpinas Nasional ia ditahbiskan sebagai calon yang diusung Partai Golkar, salah satu partai terbesar di Senayan.
Dari liputan media elektronik, kita melihat wajah sang Ketua Umum Partai, Airlangga Hartarto nampak tak sumringah ketika memberikan Surat Keputusan pada Gibran Rakabuming Raka.
(Gibran Rakabuming Raka didaulat menjadi bakal cawapres oleh Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto. Sumber: tim tvonenews/Julio)
Jusuf Kalla menyebut pilpres 2024 sangat rumit dalam penentuan wakil presiden karena adanya rasa “pemilu sayang anak.” Sebelum skenario Gibran yang sukses, ada drama AHY yang berakhir antiklimaks.
Demikianlah, semua energi bangsa belakangan seperti hanya tercurah pada perkara calon presiden. Padahal, kita tahu dalam sistem presidensial yang kelak menentukan apapun juga adalah sang nomor satu (presiden). Sang nomor dua akan seketika lenyap setelah dilantik sebagai wakil presiden. Pernyataan pernyataan yang tadinya ‘seksi” bagi media akan langsung hilang dari laman-laman pemberitaan.
Berbeda dengan sistem parlementer, wakil presiden dalam sistem presidensial adalah sosok yang harus menyingkir ketika presiden ada. Presiden ibarat matahari, kita tak pernah bicara ada matahari kembar. Yang ada hanya satelit yang berputar mengelilingi sang pusat: matahari.
Di hadapan pusat: presiden, semua pribadi kuat akhirnya harus meluruh. Jusuf Kalla yang dua kali menjadi wakil presiden, tokoh yang dikenal bekerja cepat dan cermat. Akronim JK sering disebut sebagai: Jalan Keluar. Tokoh kuat ini “hilang” ketika menjadi “orang nomor dua. Wakil presiden lain tentu tak kita harap akan terdengar: Boediono, Ma’ruf Amin atau Megawati (saat jadi pendamping Abdurrahman Wahid).
Apa boleh buat era kepemimpinan nasional dwi tunggal telah lewat. Kita seperti rindu sebuah zaman ketika dua pribadi yang kuat, dua pemimpin berbeda watak dan keyakinan politik, dua wakil terbaik dari rakyat yang mewakili sekian keragaman suku, adat, bahasa bisa bersatu menjalankan roda pemerintahan tanpa saling meniadakan.
“Hatta dan aku tak pernah ada dalam gelombang yang sama,” ujar Soekarno dalam memoarnya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Namun, toh Soekarno tak mau meneken naskah teks proklamasi jika tak bersama Hatta, ia tak ingin membacakannya jika tak ada Bung Hatta di sampingnya.
(Sang Proklamator Bung Karno. Sumber: ANTARA)
Dwi tunggal di hadapan rakyat seperti kekal tanpa cela. Ia menjelma mitos. Ketika rakyat yang di Madiun pada 1948 diberi pilihan akan mengikuti Musso atau Soekarno-Hatta, spontan rakyat mengikuti perintah sang pemimpinnya yang membuat pemberontakan PKI Madiun mudah dipatahkan.
Maka, publik hancur ketika akhirnya Bung Hatta pada 1956 mundur dari jabatan Wakil Presiden yang dijabat sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945. Saat pengunduran diri, Bung Hatta menyebut ingin memberi kesempatan kepada Soekarno untuk membuktikan ia dapat membawa Indonesia mencapai kemajuan.
Ketika Soekarno mulai gerah dengan sistem parlementer dan mengajukan konsepsi politiknya, demokrasi terpimpin, sejumlah praktek tak terpuji dilakukan pendukung pendukungnya pada lawan politik.
Hatta menulis surat pribadi pada Soekarno soal dipakai cara cara intimidatif untuk menggolkan konsepsi politik Soekarno.
Disebut Hatta dalam surat bertanggal 27 Februari 1957 bahwa kelompok kelompok pemuda meneror tokoh tokoh Masyumi dan PSI. Bung Tomo, Kiai Dahlan, Maria Ulfah, Moh Natsir didatangi di rumahnya, dipaksa untuk menyetujui konsep Soekarno soal demokrasi terpimpin. Slogan slogan konsepsi politik Soekarno ditulis di sekitar rumah rumah tokoh tokoh tersebut. Dilukis di tembok tembok rumah, di dinding trem, di gedung gedung pemerintah.
“Saya ingin peringatkan pada saudara ialah bahwa, apabila konsepsi Saudara akan disuruh diterima oleh partai partai dan masyarakat dengan jalan teror dan intimidasi, hasilnya akan jauh berlainan daripada yang Saudara maksud…” tulis Bung Hatta dalam suratnya.
(Sang Proklamator Bung Hatta. Sumber: Wikimedia Commons/Silitonga G Soekardi R and Tambunan S 1952. Indonesia Tanah Airku)
Sebagai ekonom, Bung Hatta paling banyak mengkritik ekonomi yang morat marit, pemotongan nilai uang, inflasi membumbung, harga beras bisa naik berlipat lipat dalam sehari. Lebih dari tiga surat Bung Hatta menulis salah urus Soekarno di bidang ekonomi dan korupsi yang mulai membelit.
“Kita selalu mendengung dengungkan sosialisme, tapi tindakan tindakan yang diambil pemerintah bertentangan dengan itu. Pendapatan rakyat makin ditekan, apalagi dengan politik inflasi yang dipercepat."
Kritik kritik kerasnya pada Soekarno disampaikan lewat surat pribadi. Ia tak mau media massa dibredel Soekarno karena memuat tulisannya. Ketika Soekarno semakin otoriter pada 1956 hingga 1965, banyak penerbitan diberangus karena tulisan yang jujur dan terus terang pada pemerintah, seperti Harian Indonesia Raya, Pedoman dan Abadi.
Karena tak ada lagi kritikan Bung Hatta di ruang publik, warga menyangka Bung Hatta telah berubah, sudah berbeda, sudah menerima kebijakan kebijakan Soekarno yang ketika itu dianggap menyengsarakan rakyat.
Dengan sabar Bung Hatta mendengar omelan, tuduhan dari banyak kelompok masyarakat ketika itu. “Biarkan saja. Tidak apa-apa,” ujar Hatta seperti dikutip oleh Oei Jong Tjioe, sahabat karib Hatta yang menyimpan salinan surat surat pribadi Hatta pada Soekarno selama periode 1957-1965 (Dibukukan menjadi Hati Nurani Melawan Kezaliman, Sinar Harapan, Editor Mochtar Lubis).
Demikian, ketika semua energi bangsa dicurahkan untuk membahas bakal calon wakil presiden, kita seperti rindu pada pemimpin yang kualitasnya emas, bukan Loyang. Pemimpin yang dihasilkan dari hati sanubari rakyat, bukan pemimpin jadi jadian yang matang karbitan.
(Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more