SAYA memandang takjub menara masjid yang seperti hadir dari masa lalu itu. Dinding dasarnya terbuat dari batu tebal kokoh dengan pintu masuk berujung melengkung. Atapnya berbentuk sirap dua undakan selintas mirip dengan Masjid Menara Kudus. Soko, tiang kayu penyangga atap bercat merah terang dengan hiasan ornamen kaligrafi hijau khas Timur Tengah masih terpelihara dengan baik. Padahal, masjid terbesar dan tertua di China dibangun pada 996 saat Dinasti Liao berkuasa.
Saya bayangkan bagaimana situs penting bagi penyebaran agama Islam di China ini mampu melintasi abad demi abad, bertahan dalam sejarah China modern yang kerap diharu biru berbagai revolusi besar dan berdarah-darah.
Misalnya, bagaimana Revolusi Kebudayaan, revolusi kaum proletar yang digelorakan Mao Zedong, pemimpin Partai Komunis Tiongkok saat itu, yang sangat ganas menyerang apapun alam kepercayaan tradisional, termasuk agama agama, tapi membiarkan Masjid Niujie di tengah kota Beijing utuh hingga kini masih bisa digunakan 23 juta warga muslim Tiongkok untuk beribadah.
(Masjid Niujie di China. Sumber: Wikipedia)
Tak lama muadzin melantunkan adzan dengan lirih. Ia hanya berdiri di tengah ruang terbuka, mengenakan jas panjang, sorban dan bersepatu. Suaranya ternyata sampai ke saya yang berdiri di sudut masjid dengan cukup jelas meski tanpa pelantang suara. Ada yang terasa bersahaja dan syahdu.
Setelah adzan usai, beberapa pengurus masjid yang berseragam senada, berjas panjang dan bersorban putih segera masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan sholat Ashar. Saya mengikutinya dari belakang lalu berdiri berjajar membentuk saft sebagai makmum dalam shalat jamaah.
Demikian, sepanjang kunjungan ke China pada medio Oktober lalu, saya takjub, seperti ada yang tersingkap dari pikiran, ternyata China tak seperti dalam bayangan saya selama ini.
Load more