UNTUK ketiga kalinya saya menginjakkan kaki di kota yang kerap disebut dalam banyak karya fiksi dunia: New York. Saya bersandar pada bangku di Central Park, taman ikonik yang banyak bagiannya terasa surealis: ada hutan di tengah sebuah kota yang penuh dengan gedung pencakar langit.
Saya memandangi pohon pohon besar yang entah apa namanya. Seketika teringat kalimat pembuka novel Saman karya Ayu Utami. Laila, tokoh perempuan dalam novel itu menulis taman kota seluas 800 hektar itu saat menunggu kekasihnya Sihar.
“Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon pohon yang tak pernah kita tahu namanya atau umurnya. Bukankah tak setiap keindahan perlu dinamai?”
Seperti Laila saya adalah turis di New York yang menikmati taman kota yang dibangun Frederick Law Olmsted dan Calvert Vaux itu. Sejujurnya, taman ini salah satu alasan saya ikut lomba lari jarak jauh New York Marathon pada pekan pertama November 2023 ini.
Di sekeliling saya memandang rumput yang dipenuhi pasangan yang tengah bermesraan. Deretan pohon maple dengan warna daun yang tak hanya hijau, tapi juga, merah, kuning, jingga. Kota menjadi kaya warna, tak hanya monokrom saja. Sebagian daun bertebaran di tanah. Mengeluarkan bunyi kres…kres…kres yang saya suka saat terinjak hak sepatuku saat berlari.
Inilah New York, big apple yang diperebutkan oleh jutaan imigran di seluruh dunia. Di sini kita harus terus merasa terasing. “Kita harus memiliki polisi sendiri,” ujar salah satu puisi tentang New York. Kita memang dengan gampang bisa menemukan tunawisma membuka tenda di jalanan Queens atau Manhattan. Tapi ini tetap kota yang diimpikan seluruh warga dunia.
Load more