Di bawah Firli, ‘pendisiplinan’ ala ASN pun dilakukan. Pegawainya berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang wajib mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan. Kita ingat, untuk proses “aneh” ini ada 75 penyidik senior, termasuk Novel Baswedan harus tersingkir dari lembaga yang mereka bangun dari awal.
Tak ada budaya saling kritik, termasuk pada pimpinan yang sebelumnya pernah dilembagakan dengan baik di KPK. Dengan ini feodalisme, klik, dan nepotisme jadi hidup. Istri Firli misalnya membuat Mars dan Himne KPK yang dinyanyikan pada setiap acara resmi.
Seperti pada lembaga negara lain, badan pengawas pun terasa menjadi sekedar hiasan atau ‘prosedural’ semata. Pemimpin-pemimpin KPK silih berganti dilaporkan ke Dewan Pengawas, tapi tak ada sanksi-sanksi yang tegas.
Padahal, seperti yang pernah kita tahu, ada masa KPK begitu disegani sebagai garda depan pemberantasan korupsi. Belum pernah ada dalam sejarah Republik Indonesia lembaga hukum yang superbody, memiliki fungsi peyidikan, penuntutan hingga pengadilan sekaligus dalam satu atap. Pada lembaga yang dibentuk sebagai amanah reformasi itu, orang-orang terbaik dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan kaum professional juga berkumpul.
Pada 2003 di awal pendirian, KPK juga membawa budaya baru dalam pemberantasan korupsi, penegakan hukum dan budaya birokrasi. Saat itu banyak anak anak muda yang telah sukses berkiprah di luar negeri dengan gaji besar, mau kembali ke tanah air karena ‘panggilan’ memberi sumbangsih pada tanah air dan bekerja di KPK.
Virus birokratisme, feodalisme, krisis etika belum tampak.
Banyak penyidik pulang hingga dini hari usai investigasi dari lapangan dengan riang gembira. Mereka bercanda sambil berjalan di selasar depan Gedung Merah Putih tanpa memperdulikan kelelahan atau resiko lainnya. Seorang rekan yang bekerja di bagian umum di KPK pernah bercerita, di awal-awal ia sangat sulit jika ingin mematikan lampu ruang penyidik karena jam berapapun selalu ada anak-anak muda yang masih bekerja.
Load more