Sopir taksi yang saya tumpangi membanggakan sistem lalu lintas yang lancar--meski sebenarnya sangat mempersulit dirinya.
Ia misalnya tak bisa berhenti, mengambil dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, termasuk di halte halte bus yang lapang. Selama mengemudi ia nampak patuh, tertib, tidak zig zag ataupun mengambil jalur kendaraan lain. Ia hanya berhenti di titik titik taksi yang disediakan. Singkatnya, ia sosok warga yang patuh pada apapun aturan negaranya.
"Ini sistem untuk siapa saja. Kami tak peduli siapa Anda, tapi ini peraturan bersama," ujarnya sambil mengemudi ketika saya menggodanya tidakkah ingin sesekali melanggar banyaknya aturan di negerinya.
Tapi, bahagiakah warga Singapura dengan banyaknya tekanan pemerintahnya? Agaknya tetap berbahagia. Mereka sepertinya tak membutuhkan demokrasi dan pers yang bebas, misalnya.
Saya melihat mereka berkumpul, makan dan minum dengan sesama etnisnya---India dengan India, Melayu dengan Melayu, Tionghoa dengan Tionghoa---dan tampak berbahagia saja. Lari pagi di sekitar patung Merlion dengan suasana danau buatan yang tenang.
Atau pergi makan di pinggir sungai di sekitar Clarke Quay, dengan pemandangan lampu kelap kelip dari perahu yang hilir mudik membawa wisatawan. Anak anak mudanya berjoget dan minum-minum di bar dengan musik hidup yang pramusaji dan pemain musiknya warga dari segala bangsa.
Load more