Saya menyesal tidak sempat membesuknya. Penyesalan itu terulang lagi di hari pemakaman. Saya berangkat dari rumah pukul 07.30 WIB menuju rumah duka. Menurut pengumuman, pukul 08.00 jenazah akan dilepas dari rumah duka menuju Markas Kopassus. GPS mencantumkan data 35 menit waktu untuk sampai ke sana. Namun, jalan tikus yang dilalui sesuai pedoman GPS mengalami kemacetan. Mungkin karena mendadak turun hujan. Rekan Timbo Siahaan yang berada di rumah duka memposting foto di WAG, jenazah telah diberangkatkan dari rumah. Aduh.
Tiada lagi Doni. Sosok perwira tinggi militer yang berperilaku lebih sipil dari sipil. Tiada yang menyangka orang baik dan rendah hati pergi secepat itu. Dia sosok prajurit sehat jiwa dan raga sehingga dimanapun bertugas, pengabdiannya pol, meninggalkan legasi keteladanan.
Ketika saya mewawancarainya di kantor BNPB, 14 Oktober 2020, kami ngobrol lama. Waktu itu beliau waktu didampingi Egy Massadiah dan wartawan senior Suryopratomo, yang kini Duta Besar RI di Singapura. Dalam pertemuan itu saya baru tahu Jenderal Doni rupanya sudah sekian lama menginap di kantornya. Sungguh pengabdian luar biasa pada tugas penyelamatan kemanusiaan di masa pandemi Covid-19.
Doni Monardo lahir di Cimahi, Jawa Barat, 10 Mei 1963. Doni berdarah asli Minang. Ayahnya, Letkol CPM Nasrul Saad berasal dari Lintau, Kabupaten Tanah Datar dan sang ibu, Roeslina, dari Nagari Sungai Tarab, Tanah Datar. Karena ayahnya yang seorang prajurit, maka Doni kecil pun ikut berpindah-pindah.
Doni menghabiskan masa kanak-kanak di Aceh. Setelah itu, ia baru tinggal di Padang hingga lulus SMA Negeri 1 Padang pada 1981. Mengikuti jejak ayahnya, ia masuk Akademi Militer setelah lulus SMA. Tahun 1985 ia mengawali masa kedinasannya sebagai seorang prajurit.
36 tahun Doni berkarier di militer menjalankan berbagai penugasan. Ia pernah berdinas di Banten, Bali, Aceh, Jakarta, Sulawesi Selatan, Bogor, Maluku, dan Jawa Barat. Penugasan luar negerinya juga termasuk menonjol.
Karena mengetahui istri saya asal Minang, sekampungnya, setiap kali kontak di WA, Pak Doni lebih sering berbahasa Minang yang tidak saya kuasai sepenuhnya. Seringkali saya terpaksa minta bantuan istri untuk dapat merespons beliau berbahasa Minang.
Selamat jalan, Jenderal.
Load more