AGAKNYA politik Indonesia hari hari ini seperti melihat remaja tengah pubertas. Pekan lalu saya menyaksikan langsung di lokasi debat calon presiden perdana untuk Pemilu 2024 yang dihelat Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang penuh sorak sorai, ratusan orang seperti melihat adegan sabung ayam.
Saat jeda, masing masing kandidat dirubung pendukungnya. Ada orang-orang yang berbisik bisik di telinga sang “petarung”. Ada yang mengelap takzim keringat jagoannya. Saya melihat seorang kandidat bahkan tampak dikompres kepalanya dengan handuk basah. Sementara di sekelilingnya, entah bebotoh, pelatih atau timsesnya nampak tegang, panik, sebagian besar mukanya tampak ruwet dan khawatir.
Arena juga dikesankan seperti gelanggang gladiator: kandidat jadi pusat perhatian penonton, ditampilkan di tengah arena. Dan dalam ruang berbentuk proscenium itu, masing masing capres berusaha saling serang dengan pertanyaan ataupun pernyataan, membuktikan ia lah paling layak untuk dipilih.
Adegan yang sedikit berbeda tampak di layar televisi, disiarkan secara langsung pada jam ketika harga iklan dipatok dengan rate tertinggi (primetime), tak heran jika wajah, sosok, artikulasi, argument dan janji-janji diperlakukan seperti komoditas yang ditawarkan ke konsumen sebanyak-banyaknya.
Saya tidak tahu apakah setelah menonton, orang akan mengambil keputusan mana yang lebih baik dia pilih. Jumlah penonton yang belum menentukan pilihan menurut sebuah survei masih sangat mungkin mengubah hasil akhir pertarungan: 28,7 persen.
Apakah mereka terbantu dengan informasi yang didedahkan di debat? Saya duga yang terjadi adalah pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat dimulai—dan orang menonton sebagai pendukung atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan sepak bola atau bulu tangkis.
Apa boleh buat, debat di Indonesia barangkali memang hanya sebuah tontonan. Masyarakat Indonesia dikenal sangat gemar dengan ritus seni pertunjukan. Tiba tiba saya teringat dengan teori Negara Teater karya besar antropolog sosial Clifford Geertz.
Dalam teorinya, Geertz melihat aneka ritual yang terjadi di masyarakat adalah sebuah pertunjukkan yang diorganisir, suatu teater yang dipakai untuk mendramatisir obsesi-obsesi kelas yang berkuasa. Di sini ritual dan simbol diproduksi bukan berdasarkan paksaan. Tontonan, seremoni, upacara-upacara seringkali bukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, tapi merupakan merupakan tujuan itu sendiri.
Bung Karno kita tahu misalnya sangat suka menggelar pertunjukan wayang kulit, pentas tari tari tradisi, dansa-dansa lenso di kediamannya. Strategi komunikasi Soeharto yang paling berhasil adalah melalui kelompencapir (Kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa). Kelompencapir dikemas layaknya tontonan, digelar di lapangan, dengan bentuk teater arena sementara Soeharto tampil sebagai protagonis, tokoh utama.
Jokowi menggunakan keluarga jadi sebuah teater. Tokoh utamanya adalah anak, menantu, suami, istri, keponakan, sementara orang lain di luar dinastinya adalah para penonton. Seperti Soekarno, Jokowi termasuk politisi yang paling piawai menggunakan dunia simbol-simbol politik yang kaya, multitafsir dalam setiap perilaku sehari hari. Ia adalah “aktor watak” yang memaksa lampu dan perhatian penonton selalu harus tertuju padanya. Di luar Jokowi, semua adalah penonton.
Kembali pada debat kandidat pemilu 2024: bagi yang merasa jagoannya tampil prima, jangan dulu berasumsi dan menduga terlalu jauh, debat akan mengubah konstelasi politik dengan cepat. Debat, sekali lagi, hanya memuaskan dahaga publik Indonesia yang selalu haus akan tontonan.
Debat di Indonesia belum dianggap sepenting di publik Amerika Serikat misalnya. Kita ingat bagaimana pada pemilihan presiden Amerika Serikat 2008 ketika Obama-Biden bertarung melawan McCain-Palin, pendulum berubah ketika Sarah Palin terlihat tampil dibawah standar penilaian publik saat tampil di panggung debat.
Publik Amerika Serikat kontan bergeser ketika media massa menyoroti kemungkinkan Palin menggantikan McCain yang saat itu berusia 72 tahun. Jarak Palin menggantikan McCain seandainya mereka terpilih sangat dekat.
Namun latar belakang Palin hanya sebagai eks Gubernur Alaska, negara bagian yang tak seluas dan seheterogen negara bagian lain di Amerika Serikat, jadi perdebatan tajam di masyarakat. Sementara kita tahu lawan McCain, Obama sangat muda, energik—kerap berlari untuk menuju panggung debat. Saat itu Obama unggul telak dari McCain.
Percayalah, kisah di Amerika Serikat itu tak akan terjadi di Indonesia. Di sini orang mendukung jagonya seperti ia beriman pada perintah Tuhan. Namun, bagi para pemandu sorak, baik di dalam gedung KPU maupun di luar ---termasuk cawapres yang dengan sangat bersemangat harus berdiri dari kursi dan mengangkat tangannya berkali kali meminta pendukungnya terus memberikan semangat ---ada baiknya disimak tulisan Ariel Heryanto belum lama ini.
Cendekiawan yang telah malang melintang mengajar di kampus kampus terpandang di berbagai negara ini menyebut Indonesia tak akan banyak berubah dari dan lewat pemilu. Tak pernah ada pemilu lebih dari 50 tahun terakhir di Indonesia (paling tidak sejak Orde Baru) yang membawa perubahan besar di negeri Indonesia.
Menurut Ariel lagi, Indonesia mengalami perubahan, dalam artian ada struktur yang berubah secara mendasar hanya terjadi dua kali, dan itupun hasil pertemuan gejolak dari dalam dan dari luar.
Pertama, adalah revolusi kemerdekaan hasil dari gelombang semangat dekolonisasi di bangsa bangsa Asia dan Afrika juga adanya Perang Dunia II yang mempercepat proses pembebasan nasional bangsa bangsa, termasuk Indonesia.
Kedua, bangkitnya pemerintahan Orde Baru sebagai buntut dari politik perang dingin di tingkat global.
(Demo 98 di Gedung DPR RI. Sumber: Dok.Majalah D&R/Rully Kesuma)
Kini Indonesia memang tak sama lagi dengan setting politik era Orde Baru. Tapi nyatanya tak ada struktur politik yang berbeda 180 derajat. Ariel juga menduga tanpa reformasi 1998, pun sebenarnya perubahan-perubahan kecil, gradual, tetap akan terjadi. Perubahan sebagai konsesi, sebagai cara penguasa tetap bertahan akan tetap dilakukan.
Jadi jelang hari pencoblosan pada 14 Februari 2024, hadapi saja ritual rutin lima tahunan ini dengan biasa saja. Samadya. Jangan kagetan, jangan mudah takjub.
Bagi simpatisan tak perlu memojokan lawan terlalu jauh. Tak usah menggelontorkan caci maki terlalu banyak. Bukankah emosi diberikan pada manusia bukan untuk dilampiaskan, tetapi untuk ditahan. Emosinya, harimaumu.
Apalagi, jalan yang terbentang di depan, bagi siapapun yang akan berkuasa nanti, bukan jalan mulus dan lempang. Siapapun yang nanti mendapatkan mandat akan mendapati, ia hanyalah tetap bagian kecil dari kekuatan besar di Indonesia. Seberapa pun perolehan kemenangannya, ia tetap akan merangkul kekuatan lain di luar koalisinya.
Dan, untuk menjalankan visi misinya, presiden terpilih nanti adalah pihak yang paling “bergantung” dengan kerja sama di parlemen dan di eksekutif. Pada bekas lawan politik, tawaran, negosiasi –betapa pun itu akan sulit—tetap harus dilakukan.
Dengan kata lain, makna kalah dan menang, lawan dan kawan, koalisi dan oposisi sangat cair. Jadi, sudah saatnya kita berhenti jadi puber dalam hal politik. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more