SEORANG teman yang saya tahu tengah gundah dengan perkembangan situasi politik terakhir tiba-tiba menulis di laman media sosialnya: “Payung sampeyan besar dan luas Mas, bisa menaungi banyak orang dan kalangan, eman hanya dipakai untuk segelintir orang.”
Ia orang yang berkhidmat di Nahdlatul Ulama (NU) sejak lama. Berbeda dengan sejumlah rekannya, ia memilih sebagai jam'iyah NU kultural. Ia aktif mendampingi warga nahdliyin di akar rumput. Di wilayahnya ia banyak mempertemukan eks tahanan politik korban gegeran 1965 ke komunitas warga nahdliyin. Dengan itu ia ingin meretas rekonsiliasi dari bawah.
Saya tahu ia sedang gelisah pada kecenderungan terlibatnya struktur Pengurus Besar NU (PBNU) masuk terlalu dalam pada kontestasi pilpres 2024. Teman saya tak sendirian. Sinyalemen PBNU mulai “tidak lurus” di relnya juga disoal oleh tokoh muda NU, Nadirsyah Hosen yang biasa disapa Gus Nadir.
Gus Nadir yang biasanya bergelut dengan soal-soal menara gading, tiba tiba mau muncul dan mengurusi soal pertarungan politik pastilah karena keadaan terlanjur runyam. Dari diskusi dengan Kiai sepuh, Gus Nadir mendapat laporan PBNU mengerahkan seluruh pengurus mulai dari tingkat dan wilayah dari seluruh Indonesia di Surabaya pada 7 Januari 2024. Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dan Rais Aam Miftachul Akhyar hadir dalam pertemuan. Isi pertemuan menyebut adanya dawuh tidak tertulis untuk memenangkan pasangan nomor urut dua Prabowo-Gibran.
Pertemuan tertutup memang mudah dibantah, namun statement yang keluar dari pimpinan PBNU sangat mudah diikuti arahnya.
"Barangsiapa yang memuliakan para pemimpin dalam segala lapisan maka Allah akan memuliakan. Barangsiapa yang menghinakan presiden dan wakil presiden, mereka meremehkan semuanya pimpinan organisasi, Allah akan membalasnya," kata kata Miftachul Akhyar dalam sambutannya pada acara Harlah ke-78 Muslimat NU di GBK, Jakarta, Sabtu (20/1/2024) yang dihadiri Presiden Jokowi yang kini tengah berperan ganda: sebagai king maker untuk pasangan Prabowo-Gibran.
Sayangnya sebagian elit PBNU seperti memutar lagi lagu lama yang pita kasetnya sudah kusut dan nyaris sumbang suaranya.
Pertentang pertentangan lama diungkap hanya untuk meraih dukungan massa NU akar rumput untuk salah satu paslon. Sekjen PBNU Saifullah Yusuf secara gamblang di sebuah acara NU meminta warga Nahdliyin tak memilih paslon yang didukung oleh Abu Bakar Baasyir dan Amien Rais. Gus Ipul beralasan Abu Bakar Baasyir dan Amien Rais memiliki pemahaman yang berseberangan dengan cara berpikir Nahdlatul Ulama.
Memang sudah bawaan lahir, NU yang pernah jadi partai politik akan diseret seret ke wilayah kekuasaan. Partai NU pernah masuk "tiga besar" pada Pemilu 1955 bersama PNI, Masyumi dan PKI. Pada Pemilu 1971, Partai NU memiliki "suara terbesar" setelah Partai Golkar, padahal Golkar didukung negara dan aparat keamanan negara. Saat terjadi fusi partai pada 1977, NU memperkuat fusi partai Islam (PPP), ketika NU dirugikan dan keluar dari PPP justru partai Islam itu gembos. Semua itu menunjukkan bahwa massa NU itu riil.
Tak bisa dielakan, Pemilu 2024 sangat brutal bagi NU.’ Tembak menembak’ antar sesama kader NU terjadi di ruang publik. Sebabnya adalah hampir tak ada paslon yang tak melibatkan elit NU baik sebagai ‘orang belakang layar’, pemengaruh (influencer) atau sekedar jadi vote getter. Ini memang seperti NU versus NU.
Kita tahu, pasangan calon nomor urut 1 Anies Baswedan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang ketua umum PKB. Cak Imin adalah cicit dari pendiri NU, KH Bisri Syansuri (Pesantren Denanyar), sekaligus keponakan tokoh NU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan didukung Jusuf Kalla (mantan wapres/Mustasyar PBNU).
Meskipun tidak ada tokoh NU dalam pasangan calon nomor urut 2 yakni Prabowo Subianto, tapi tim sukses yang ada melibatkan nama-nama besar di NU. Ada Habib Muhammad Luthfi bin Yahya (Rais Aam Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah). Bintang lainnya adalah Khofifah Indar Parawansa (Ketua Umum PP Muslimat NU/jubir dan "Mensos" era Gus Dur) yang konon memiliki massa solid 32 juta kaum ibu dan Nusron Wahid (Ketua Umum PP GP Ansor 2010-2015).
Pasangan calon nomor urut 3 Ganjar Pranowo sudah jelas berpasangan dengan Prof Dr Mahfud Md (Menko Polhukam) yang merupakan tokoh intelektual NU dari Madura, Jatim.
Soal keterlibatan pengurus PBNU dalam dukung mendukung paslon seperti yang dituduhkan Gus Nadir, pertanyaannya, apakah harus “semurah” dan “serendah” itu pilihan-pilihan politik jamiyah NU? Apakah harus membawa struktur dan rumah besar PBNU?
(Tokoh muda NU, Nadirsyah Hosen yang biasa disapa Gus Nadir. Sumber: ANTARA)
Kita pasti ingat ketika NU tergelincir dalam tarian politik yang hanya mengikuti gendang penguasa pada era demokrasi terpimpinnya Soekarno. Saat itu sejarah mencatat pimpinan PBNU mengiyakan apapun kehendak Soekarno, termasuk memberinya predikat waliy al amri dharuri bi al syawkah dan menyokongnya sebagai presiden seumur hidup.
Tokoh tokoh NU dicatat memberi legitimasi moral pada tindakan Soekarno, pergantian UUD Sementara ke UUD 45 disebut Menteri Agama Wahib Wahab sebagai hijrah dari sistem kapitalisme ke sosialisme, konsepsi politik Soekarno ditabalkan sebagai ijtihad, termasuk yang paling muskil “ganyang Malaysia” karena dalam hal pemikiran dan praktek agama warga Malaysia sangat dekat dan belajar banyak dari NU.
Tapi, sudah, tak usah tegang, rileks saja. NU bukan ormas kacangan, organisasi ini bukan entitas sosial-politik kemarin sore. Ormas yang semula bergerak di bidang sosial pendidikan berdiri sejak 31 Januari 1926, sudah seabad usianya.
Lagipula sejak kapan NU adem ayem terus menerus? Dalam sejarahnya NU sangat piawai mengelola konflik. Organisasi ini sangat lentur berhadapan dengan tekanan, ancaman, hambatan baik dari luar maupun dari dalam. Almarhum H Choirul Anam pernah mencatat sejarah panjang konflik di tubuh NU dalam buku 'Membanding Ulah GPK Abu Hasan (1996). Ada konflik Subchan versus KH Idham Chalid, KH Achmad Sjaichu versus KH Idham Kholid. Cipete versus Situbondo dan mufaraqahnya KH As'ad Samsul Arifin dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Yang tak main-main terjadi di zaman Orde Baru. Persisnya terjadi saat Muktamar ke-29 di Cipasung Tasikmalaya. Saat itu karena perbedaan sudah sangat tak bisa didamaikan bahkan telah muncul KPPNU sebagai tandingan PBNU.
Di era reformasi Muktamar NU juga tidak sepi dari konflik seperti Muktamar ke 31 di Boyolali antara KH Abdurrahman Wahid versus KH Hasyim Muzadi dan Muktamar NU ke-33 di Jombang antara KH Hasyim Muzadi versus KH Said Aqil Siroj.
Terbaru, yang mungkin masing hangat dalam ingatan adalah Muktamar ke-34 NU di Lampung. Kali ini dinamika disebabkan perbedaan figur calon Ketua Umum PBNU. Munculnya calon ketua umum PBNU KH Said Aqil Siroj (petahana) yang ingin dipertahankan oleh pendukungnya berhadapan dengan kelompok pendukung Katib Aam KH Yahya Cholil Staquf yang menghendaki regenerasi.
Namun, terbukti NU toh tetap solid dan hingga kini tahan segala cuaca. Seperti suami istri yang hanya butuh tidur bareng untuk meredakan ketegangan pada saat dompet semakin menipis di akhir bulan, gegeran itu pada saatnya akan selesai setelah para kiai duduk bareng, gayeng sambil klekaran, ngopi dan merokok.
Saya menenangkan diri soal gegeran jelang coblosan ini dengan mengingat lagi tradisi yang mapan di NU soal perbedaan pendapat. Otokritik mengalir dalam darah setiap warga NU secara organik. Setiap yang pernah mengikuti forum-forum Bahtsul Masail pasti tahu para kiai terbiasa berdebat secara diametral dan sengit soal permasalahan hukum di masyarakat. Argumentasi, hujjah, dalil disampaikan dengan jernih karena berdasarkan dari Al-Qur’an, Hadits, dan kitab kuning.
Hanya, seperti yang disebut teman saya, eman eman, sangat sayang jika payung besar hanya untuk sibuk memayungi satu kubu saja.
Banyak yang bilang, NU dan juga Muhammadiyah adalah pakunya republik. Bagian dari gerbong besar masyarakat sipil yang terbuka dan demokratis. Kenapa kita tidak pecah berkeping keping seperti Yugoslavia atau Serbia ketika mengalami masa peralihan yang keras dan berdarah pada 1965 dan 1998, ya karena peran dua lembaga ini yang berakar kuat di desa-desa dan kota-kota seluruh Indonesia.
(Dok - KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) (kedua dari kiri). Sumber: ANTARA)
Saya teringat dawuh Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) saat menghadiri Lailatul Ijtima PWNU Jateng, 13 Januari 2024 yang menyatakan bahwa pola pikir NU harus seperti sikap kiai pesantren. Semua dilayani, menyediakan diri untuk masyarakat. Ulama tidak mengurusi politik saja, tapi bagaimana manfaat.
Politik ala NU harusnya bukan politik praktis karena fokus politik NU adalah politik tingkat tinggi, politik kebangsaan dan politik kerakyatan. Sangat rugi bagi kita semua jika jamiyah besar ini hanya dijadikan "posko politik". (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more