KETIKA jalan-jalan 'cari angin' sesekali saya melihat gerai penjualan perabot rumah tangga dari Swedia yang memang secara fungsi dan desain terasa nyaman dan indah dilihat. Sejenak saya tertegun kenapa banyak sekali orang yang perilakunya hanya memotret dengan telepon genggamnya dan tidak antusias bertanya ke pramuniaga mengenai harga dan kualitas produknya.
Setelah bertanya kanan kiri, terkuaklah gaya belanja termutahir: memotret hanya untuk mencontek desain, lalu meminta kenalan tukang terpercaya untuk membuatkan yang serupa.
Kita tak risau mencontek desain sandaran tangan pada kursi yang tampak sangat ergonomis hasil bertahun tahun riset dari divisi penelitian dan pengembangan jenama tersebut, melibatkan ratusan sumber daya manusia terbaik, memakan biaya yang tak murah, dari sekian percobaan percobaan yang gagal.
Dalam hal meniru, kemampuan kita memang layak meraih hadiah nobel. Tak heran jika barang aspal, asli tapi palsu meruyak ke mana mana. Kaus Zara yang dibeli kolega saya pada pedagang Arab di bilangan Blok M ternyata warnanya luntur. Pada pedagang, keluhan disampaikan: “Ditanggung tidak luntur, kenapa luntur juga?” ujar sang teman. “Ah ente aja yang tidak teliti membacanya,” ujar pedagang enteng. “Tulisan Arab kan ditulis terbalik, luntur tidak ditanggung.”
Tentu ini anekdot menggambarkan betapa kita santai saja memandang perkara barang aspal. Kita misalnya tahu bahwa saos tomat yang kita konsumsi tak ada unsur tomatnya. Ia hanyalah ubi yang digiling dan diberi warna merah, ditempatkan dalam botol yang diberi label saus tomat. Susu kental manis yang terkenal dicekokkan ke anak-anak setiap akan berangkat sekolah tak ada sedikit pun unsur susunya. Lalu kita merasa biasa saja, kita akrab dengan apapun yang bukan asli, replika, seolah-olah. Kepalsuan bagian dari kenyataan sehari-hari.
Repotnya jika “rekayasa” juga merembet ke perkara program-program pemerintah yang penting.
Load more